Tubuh wanita yang terbaring di atas
ranjang besi itu masih dalam posisi yang sama. Sebuah kain bergaris-garis warna hitam putih menyelimutinya."Mengapa wanita ini sangat aneh? Siapa gerangan dirinya?" gumam Tjandra.
"Benarkah dia saudari jauh dari Bu Aryani?"
Kembali, pemuda itu bermonolog. Ia mengamati wajah sang gadis berulang kali. Jika dilihat dari wajah, mereka memang sangat mirip. Hanya berbeda postur tubuh saja, Dewi lebih tinggi dari Aryani.
Mata itu segera Tjandra arahkan ke tempat lain tatkala si empunya tubuh bergerak. Ia pun menggeser letak tubuhnya, sejauh mungkin. Punggung tegap itu ia tempelkan ke dinding tempat kursi kayu panjang yang ia duduki disandarkan.
Tjandra memejamkan matanya. Ia tak mau dituduh tak senonoh seperti juniornya tadi.
"Astagfirullah, kenapa aku masih di sini."
Suara lirih itu cukup terdengar di telinga Tjandra. Ia tak bereaksi apapun. Hanya mengira-ira dari apa yang ia dengar saja.
Suara ranjang berdecit, menandakan Dewi tengah mengubah posisi tubuhnya. Tak lama, erangan kecil terdengar. Tjandra memperkirakan jika gadis itu tengah mencoba duduk atau semacamnya tetapi ia lupa jika kakinya terluka.
"Om? Om?" panggil Dewi pelan.
Oom? Memangnya dia keturunan Belanda? Mengapa wajahnya terlihat sangat pribumi? Kulitnya juga. Tetapi mengapa memanggil saya Oom bak Noni-noni kebanyakan? batin Tjandra.
Pemuda itu tetap diam. Ia masih dalam kepura-puraannya. Suara langkah kaki terdengar agak pincang.
"Om Tjandra?" panggil Dewi lagi dengan nada antara lembut dan takut.
Tjandra masih diam dan memejamkan matanya rapat.
"Ya Allah, Omnya ketiduran? Dia jagain aku ya?" Monolog sang gadis.
Setelah itu terdengar lagi suara langkah kaki diseret dan tak berselang lama Tjandra mendengar sesuatu ditepuk.
"Jangan tidur sambil duduk, bisa sakit kepala dan punggungnya," gumam Dewi sembari mendorong pelan tubuh Tjandra ke arah bantal yang ia siapkan. Namun, mata sang pria kini terbuka lebar.
"Mau apa anda?"
Tatapan itu menusuk tajam. Dewi mendadak tergagap. "A-aku ... Saya ... Aku ... Itu, mau bantuin Om. Itu, Om tidur jangan duduk. Nanti badannya sakit. Om bisa pakai bantal ini."
"Oom, oom, Oom, memang siapa anda memanggil saya seperti itu? I'm not your uncle."
Dewi mengerjapkan matanya. Wajah sangar pemuda di hadapannya membuatnya kesulitan menelan ludah.
"So- sorry, Sir. Saya hanya tidak tahu harus memanggil apa," jujurnya.
"Saya dua puluh lima tahun, Nona. Umur saya sepertinya lebih tua dari Anda tetapi tidak perlu memanggil Oom. Kita bukan saudara."
Dewi masih mencoba mencerna kalimat lawan bicaranya. "Baik kalau begitu, Mas. Panggil Mas boleh?"
Pemuda itu tidak menjawab. Ia malah berdiri dan menjauh dari gadis yang mengajaknya bicara. Dewi pun terdiam, ia bingung harus bagaimana. Ia berharap segera kembali ke dunianya tetapi nyatanya ia masih terbangun di tempat yang sama.
Suara perut gadis itu terdengar tiba-tiba. Si empunya jelas malu, mengapa di saat otaknya kebingungan, perutnya menjerit begitu kencang.
"Nona belum makan?"
Dewi menggeleng. "Aku lupa kapan terakhir makan," jawabnya lirih.
"Mohon menunggu di sini terlebih dahulu. Saya ambilkan makanan di barak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...