1960
Gelap, awalnya semua mendadak hilang dari pandangan mata.
"Allah, Allah, Allah, laa illa ha illallah. Laa illa ha illallah.”
Suara itu begitu jelas di telinga Dewi ketika rasa sesak menyergap dadanya. Ia meremas sesuatu yang begitu hangat setelah gelap membutakan matanya.
"Dewi." Panggilan itu sedikit bergetar. Ia merasakan sesuatu yang kuat memaksanya membuka mata.
Hingga akhirnya ia menemukan sosok yang ikut terjatuh bersamanya.
"Mas," panggilnya.
"Pegangan yang kuat, jangan lihat ke bawah. Jangan lihat ke bawah."
Larangan adalah sebuah perintah. Pemantik rasa penasaran yang akhirnya membuat Dewi merutuki dirinya sendiri. Posisinya kini bersama Tjandra bergelantungan pada akar besar sebuah pohon yang tadi ada di belakangnya.
"Allahu akbar!" pekik Dewi.
Tjandra mengembus napas. "Tadi perintahnya apa?"
"Jangan liat ke ... Ke ke bawah."
"Lalu?" Tjandra bertanya retoris.
"Siap salah!" teriak Dewi sembari mempererat pegangannya pada tubuh Tjandra.
Pria itu sebenarnya sama paniknya. Bukan karena nyawanya yang dipertaruhkan tetapi karena si cerewet yang tengah ada di dekapannya.
"Sekarang dengarkan aku. Kamu panjat badanku, kamu naik ke atas."
"Ha? Enggak! Enggak mau. Aku berat! Mana kuat kamu aku panjat-panjat!"
"Pilihannya kamu naik ke atas atau kita berdua jatuh ke bawa sana?"
"Enggak mau! Aku milih kita berdua naik ke atas sana!"
Akar yang mereka pegang mengendur. Guguran tanah kembali menjatuhi kepala mereka.
"Naik, ya? Kamu injak tanganku yang ini, naik ke bahuku."
Dewi mendongak dan menatap Tjandra lekat. "Nggak. Kalau hanya aku yang akan selamat, maka aku lebih memilih kita berdua mati bersama."
"Dewi, dengar, kamu naik ke atas dan aku mungkin bisa mengikuti arus, merosot ke bawah sana."
Dewi menggeleng. "Berapa persen kemungkinan kamu selamat, Mas?"
"50, mungkin. Cepat, akarnya tidak kuat untuk menopang kita berdua lebih lama." Tjandra meyakinkan Dewi.
"Baik kalau begitu." Dewi masih menatap netra sang pria lekat.
"Ayo, lekaslah." Tjandra berusaha mengusir rasa malu karena berpelukan dengan wanita yang selalu saja menyusahkannya itu.
"Bismillahirahmanirrahim," gumam Dewi sebelum melepas pegangannya dari tubuh Tjandra.
"Dewi!" teriak Tjandra yang tak siap karena terkejut gadis di dekapannya memilih jalur nekat.
Ya, Dewi melepaskan pegangannya hingga ia pun kini terjun bebas ke dasar jurang, tempat longsoran tanah bermuara.
Tjandra pun dengan sisa akal yang ia punya menarik jemari Dewi yang sudah hampir lepas. Ia berusaha setidaknya tetap melindungi gadis itu meski keduanya harus berguling beberapa kali sebelum terbaring lemah di gundukan tanah longsoran.
"Gadis bodoh!"
Tjandra dengan pelipis luka menatap kesal pada Dewi yang terbaring di sampingnya.
"Mas ngapain ikut turun sih? Harusnya Mas bisa bergelantungan naik ke atas kan? Tidak terbebani aku lagi." Dewi berusaha bangkit dan memastikan apakah tubuhnya masih utuh atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...