Bab 33. Serangan

452 60 8
                                    

Davan, pemuda dua puluh tahun, yang kini tengah mengenyam studi Ilmu Quran dan Tafsir itu memicingkan mata. Ia mengamati hal abnormal yang terjadi di luar sana.

"Dek, cuacanya kok mendadak ekstrim ya."

"Mbak, murojaah bareng yuk? Mumpung masih bisa bebas ketemu Mbak. Kalau besok Mbak udah diboyong Mas Langit, bakal susah kita ketemu. Toh, aku juga bentar lagi mulai ngabdi lagi jadi musyrif di pondok Mas Elhaq."

Dewi menatap adik bungsunya. Si kecil yang dulu selalu ia gendong ke mana-mana. Satu di depan dan satu di belakang. Si kecil yang hampir tak pernah rewel sama sekali, meski tak pernah mau dilepas pelukannya ketika sedang tidur.

Ia menyerukkan tangan di pinggang adiknya. Kemudian ia letakkan kepalanya di dada sang adik. Davan terlihat sedikit terkejut.

"Mb-Mbak... Mbak, ja-jangan gitu aku malu. Mbak a-aku bukan anak-anak lagi."

Dewi sedikit mendongak. Meski tak setinggi Langit, Davan masih sepuluh senti lebih tinggi dari kakaknya.

"Dav, jangan kaku-kaku jadi orang. Nanti gimana istrimu kalau kamu kayak robot gitu."

"Mbak, aku... Aku belum mikir itu. Memang sudah siap nikah, tapi aku kan nggak mikir ke sananya. Aku siap mental, dana, sama ilmu aja. Niat lillah."

Dewi terkikik. "Masyaaallah, sholihnya Mbak. Besok anak-anaknya Mbak tolong ajari agama ya, Dek."

"Mbak kan juga bisa. Suami Mbak juga masih keturunan keluarga Mbah Yai Malik Ibrahim loh. Seniornya Simbah kita malahan. Harusnya lebih ampuh." Davan tersenyum.

Dewi mengembus napas. "Dek, kamu kan paham sendiri, dzuriyyat wali pun tetap saja ada yang tetap di zona lurus ada yang tidak. Seperti kamu dan Devan. Kalian berbanding terbalik. Kamu dari kecil sudah myantri terus, sedang kembaranmu? Luar biasa kan sepak terjangnya di dunia pergulatan duniawi."

"Mbak, udah ah. Bukannya Mbak sendiri yang bilang kalau kita doain aja Devan supaya segera menemukan jalan hijrahnya? Siapa tahu dia nanti jauh lebih khusyu dari kita. Ya kan? Walau kita udah mulai mendalami dari kecil dan dia seenak udel malah main ngikut jalur mama. Tapi who knows, malah dia yang nanti bakal dapat ilham buat nerusin pondok Simbah?"

Kakak beradik itu tertawa. Davan memberanikan diri membalas pelukan sang kakak meski kaku.

Suara petir menyambar begitu hebat mengganggu kehangatan kakak beradik yang tengah bercengkrama itu.

"Mbak, ayo kita wudhu terus murojaah."

Dewi mengangguk, ia segera mengambil air wudhu kemudian melaksanakan salat sunnah wudhu dan shalat taubat, seperti kebiasaannya sebelum mengaji bersama sang adik.

Dulu, ketika kecil, dialah yang mengajari adiknya membaca al quran. Kini, setelah sepuluh tahun berlalu, adiknya justru yang menyemak bacaannya. Ia menyetorkan hafalannya pada sang adik yang sudah terlebih dulu diwisuda sebagai hafidz quran sejak empat tahun lalu.

Kadang, kita tidak pernah tahu. Hal kecil yang kita ajarkan pada orang lain, akan berbuah begitu lebat, manis, dan indahnya di masa depan. Hanya dasar-dasar membaca al quran yang dulu ku ajarkan padanya, membawanya menjadi seorang hafidz quran bersanad, tak main-main. Masyaaallah tabrakallah, kadang apa yang kita sepelekan bisa menjadi sumber ilmu luar biasa bagi orang lain.

Itulah yang Dewi katakan setiap kali orang-orang disekitarnya menyatakan jika malu memberikan ilmu, mengajarkan sesuatu, atau membagikan sedikit pengetahuan mereka pada orang lain karena menganggap pengetahuan mereka bukanlah apa-apa.

Dewi sudah membuktikan sendiri hal itu pada adiknya juga beberapa rekan dan muridnya yang kini meraih kesuksesan luar biasa setelah bersama-sama belajar dengannya.

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang