Bab 19. Cincin

611 83 10
                                    

Deras hujan mendadak turun. Mobil berwarna hitam milik Langit yang melaju kencang di jalanan harus dipelankan. Baru saja ia sampai di daerah di mana Sarah tinggal, Langit mendapat telepon dari sang kakak.

“Lang, Bunda Lang!”

Ia pun mengurungkan niatnya. Kondisi sang ibu kembali kritis menurut kabar kakaknya. Sang kakak menyuruh Langit untuk segera ke rumahnya dan mereka akan bersama-sama bertolak ke Solo.

Langit memutar arah jalan mobilnya, butuh waktu enam menit untuk sampai ke rumah sang kakak dengan kecepatan 100 km per jam. Agak riskan memang di cuaca seperti ini tetapi ini demi ibunya. Ya, bagaimana ia tidak khawatir jika dikbari ibunya kembali anfal.

Beberapa hari lalu, ibunya sempat masuk rumah sakit, seperti yang sudah diketahui juga Dewi.   Namun kondisinya sempat membaik.

Langit diminta untuk meninggalkan mobilnya di rumah sang kakak dan pergi ebrsama menggunakan mobil iparnya. Bersama tiga keponakannya, ia melaju membelah jalanan menuju Solo. Tak ia pedulikan hal lain, hanya satu keinginannya saat itu, bertemu sang ibu secepatnya.

“Cincinmu baru? Tumben pakai cincin. Dari Sarah?”

Pertanyaan basa-basi penghilang kantuk dari iparnya membuat Langit bersuara. “Ini… bukan dari Sarah, Bang.”

“Lalu? Cincin tunangan dengan siapa? Gurunya Una?”

Candaan itu membuat si pemilik nama yang tadinya hampir tertidur kembali bangun. Sementara di belakangnya sang adik kembar yang berebut pangku ibunya terlelap semua.

“Bu guru? Om mau menikah sama guruku? Siapa?”

“Bang, sinyal putrimu setinggi sinyal maminya. Tolong jangan menggiring opini.”

Sang Letnan tertawa. “Una, kalau Om nikah sama Miss Dew, kamu setuju nggak?”

Una terlihat berpikir. “Una seneng sih, tapi Una kasian sama Miss kalau harus nikah sama Om. Nanti Miss tambah dibenci sama nenek sihir Sarah.”

“Una, kok gitu panggilnya. Tante Sarah, Nak,” ucap sang ibu yang ikut mendengarkan di belakang.

Una mencebik. Menggumamkan kata iya-iya.

Namun, dari penuturan itu Sakti tergelitik dengan satu hal. “Memang Tante sihir, eh tante Sarah sebel sama Miss?”

Una mengangguk. “Iya, gara-gara dulu diajakin salat sama Miss sama aku, eh Tante malah ngomong ngak bik. Katanya, hari gini masih percaya Tuhan. Cupu. Kamu minta aja sama aku nanti aku pasti kasih. Kalau kamu minta ke Tuhan, coba buktikan mana ada dikasih.”

“Astagfirullahal ‘adzim. Ada orang kek gitu?” sahut sang ayah cepat.

“Ada, Pi. Dan Miss pernah ditampar sama Tante Sarah, pernah juga dimarah-marah. Heh dasar sok suci, persis kamu kayak nenek kamu. Sok suci, sok terhormat! Perusak kebahagiaan orang!”

“Nenek?” Langit bergumam.

“Ya Allah, Na, kamu kok nggak pernh cerita sama mami?”

“Habisnya Miss ngelarang Una. Katanya biar aja kita sabar, kita doain aja semoga Allah memberi hidayah pada Tante Sihir. Kalau mami jadi Miss pasti udah mami gebukin kan dia?” Una bertanya pada ibunya.

Wanita beranak tiga itu mengangguk. Langit semakin saja bertanya-tanya ada apa dengan Sarah?

“Mungkin Sarah cemburu karena tiap hari Miss datang ke sana, dia pikir mungkin aja Candra bakal kepincut sama Miss Dewi, kan?”

Ucapan ayah Una terdengar masuk akal dan diangguki istri juga putrinya.

“Miss itu ternyata cucu dari temen eyang t loh, Na. tadi mama ketemu sama mamanya Miss waktu jenguk dan cerita-cerita. Dia cucunya Pak Tjakra sama Bu Aryani. Itu temennya Eyang Kakungmu. Komandannya Omnya mami.”

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang