Bab 41. Kejujuran Hati

325 36 5
                                    

Pembicaraan di IGD tempo hari masih berlanjut hingga hari ini. Tjandra sudah boleh pulang dan ia memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya yang sudah sangat lama tak ia kunjungi. Suasananya masih sama, hampir tidak ada renovasi berarti.

"Paklik, unjukanipun." Langit menawarkan minuman yang dibuat oleh istrinya.

Di belakangnya, Dewi membawa senampan gorengan dan martabak manis yang baunya menggugah selera.

"Ya, makasih. Le, yang sebelah sana itu apa?"

"Mana Paklik?"

"Itu, to."

"Oh, itu... Itu dulu sumur, tapi sudah ditutup."

Tjandra memicingkan mata. "Itu apa? Kok ada bokornya?"

"Bokor apa, Paklik?" Dewi menginterupsi.

"Itu, yang di sana. Itu buat apa?"

Dewi melongokkan kepala. "Nggak tau, selama pindah ke sini, Mbok Mah nggak pernah kasih Dewi ke sana. Katanya nggak boleh injek tanah sebelah sana. Itu buat apa sih Mas?"

Langit seperti orang gusar.

"I-itu aku juga nggak tahu. Aku nggak pernah ke sana."

"Mas kenapa kek orang panik?" Dewi menebak.

Langit tak kuasa ditatap tajam istri dan pamannya. Ia akhirnya angkat bicara.

"Itu, itu tempat yang biasa diurus Sarah. Sejak Sarah tewas ya tempat itu ikut mati."

Dewi menatap ekspresi Langit yang terlihat aneh. Sepertinya ia agak rikuh menyebut nama mantan tunangannya di depan sang istri.

"Oh, mantanmu," gumam Dewi dengan wajah datar.

"Sarah itu siapa?" tanya Tjandra.

Langit makin tak tenang saat sang paman menanyakan tentang Sarah.

"Calon istrinya Mas Langit, Om. Ng... Kalau dikisah Om mungkin dia itu seperti Sartika. Om kenal Sartika?"

Tjandra membelalakkan mata. "Da-darimana kamu tahu tentang Sartika?"

"Someone told me." Dewi menjawab cepat.

Wajah Tjandra berubah. Ia heran, mengapa keponakan-keponakannya seolah tahu masa lalunya.

"Sartika itu gadis yang dijodohkan dengan kakaknya Om, kan?"

Tjandra mengangguk. "Ya, dia putri salah satu orang ternama di sini dulu. Rumahnya, di sebelah sana. Tapi mungkin bukitnya sudah tidak terlihat ya sekarang?"

"Dimana Om?"

"Dari jalan depan itu lurus ke Selatan, lalu belok kanan sebelum jembatan. Tepat di samping sungai. Apa masih ada rumahnya sekarang?"

"Samping sungai? Dekat petilasan?" tanya Langit.

"Petilasan? Watu Ombo?"

Langit mengangguk.

"Apa masih ada petilasannya?"

"Dengar-dengar masih buat ng itu Paklik, orang-orang yang pengen kaya."

"Astagfirullahal adzim, pesugihan gitu?" Dewi terkejut.

Langit mengangguk. "Paklik, kalau Paklik kerso, Paklik bisa menempati rumah ini. Karena memang ini hak Paklik. Keprabon. Hak anak termuda yang menjadi pewaris rumah Eyang."

"Loh, la kamu sama Dewa?"

"Saya sama Abang itu sudah punya rumah sendiri. Sebelahan sama rumahnya Mbak Karen. Bertiga sekomplek. Saya tinggal di sini karena ingin menyendiri pasca kecelakaan dan abang sempat hilang. Saya menyepi di sini. Tapi, sekarang sepertinya lebih baik saya dan istri saya tinggal di rumah kami sendiri."

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang