Rintik gerimis masih mengguyur bumi. Hawa dingin membuat para penghuni bumi dimanjakan rasa kantuk yang bertumpuk, hingga membiarkan selimut mimpi menghapus lelah mereka. Kecuali dua orang yang kini duduk berhadapan dengan canggungnya.
"Tidur sana."
"Belum ngantuk."
Langit yang tengah berkonsentrasi menggoreskan pena mekanik di atas kertas, akhirnya menyerah.
Sejujurnya, ia ingin berusaha terlihat santai dan sewajarnya berbincang dengan gadis yang lima jam lalu sah menjadi miliknya.
"Tidur kan tinggal merem, nggak perlu nunggu ngantuk."
Dewi memeluk Caca sembari duduk di seberang meja kerja Langit.
"Ca, apa mas-mas itu juga galak ke kamu? Kenapa nyuruh istrinya tidur kayak ngusir ayam yang matokin jemuran nasi kemarin sore?"
Dewi mengajak bicara boneka berbentuk pesawat di tangannya.
"Dia galak ya, Ca? Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin sih, Ca. Tahu gitu kan mending juga cari yang lain. Yang bisa memanusiakan istrinya."
Mendengar sindiran itu jelas saja Langit akhirnya benar-benar meletakkan pensil mekaniknya di atas papan milimeter block berukuran 1,2 meter tersebut.
Langit berdiri dan berjalan menuju sang istri. Ia merebut Caca.
"Ca, kenapa cewek itu bawelnya minta ampun? Baru juga sebentar, sudah ngerengek ini itu, protes ini itu. Perkara baju di penjahit aja bisa bete luar biasa. Sebenernya maunya apa sih, Ca? Tanyain sama Umimu tuh."
Dewi menaikkan satu alisnya. Ia pun menatap Caca yang masih berada di tangan Langit.
"Bilangin sama Abimu, Ca. Kalau mau bikin rencana, semendadak apapun harus dikoordinasikan dulu. Enak aja ngerubah acara seenak jidat. Impianku ijab pakai gown semi kebaya putih gagal total! Nyebelin banget, Ca. Mana jahitnya mahal lagi. Nggak kepake bajunya, Ca!"
Langit akhirnya meletakkan Caca di atas sofa. Ia langsung menatap sang istri.
"Kan udah aku bilang, aku bisa ganti semua uangmu. Berapapun biayanya. Dan bajunya bisa kamu pakai nanti di acara lain."
Dewi mengerucutkan bibir. "Ih, emang dasar cowok, nggak paham perasaan cewek!"
Langit mengembus napas dalam. Untung, ia sudah terbiasa menghadapi tingkah kakak perempuannya yang 1000x lipat lebih ganas dan menyebalkan dari Dewi. Juga ibunya yang kadang sering merajuk hanya karena hal sepele bin kecil.
Gadis itu beranjak dari kursi dan berniat untuk pergi ke ranjang yang akan menjadi tempat peraduan mereka mulai malam ini.
Langit meraih jemari wanitanya sebelum ikut berdiri. Dewi yang tak menyangka akan mendapat perlakuan manis dari sang suami akhirnya mematung.
Jemari bertahta dua cincin pemberian Langit itu dikecup sang pria dengan lembut.
"Bu guru, bagaimana kalau perangnya dilanjut kapan-kapan? Ini sudah terlalu malam untuk saling menyalahkan. Lihat di luar sana, bumi lagi dingin-dinginnya, eh kita malah saling panas-panasan. Nggak sinkron, Sayang."
Dewi tak menyangka, Langit bisa mengolah emosinya menjadi suguhan yang berbeda. Ia pikir Langit hanya akan diam seperti biasanya kalau ia tengah marah atau mungkin membiarkan amarahnya meledak-ledak karena terlalu lelah menghadapi sikap kekanakan Dewi yang selalu muncul ketika bersamanya.
Tangan sang pria meraih pinggang istrinya, menghempas jarak yang ada. Perlahan, ia meletakkan dagunya di puncak kepala sang istri yang memang hanya setinggi bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...