Bab 1. Perkara cita-cita dan jembatan

1.8K 130 4
                                    

Suara bel berbunyi menandakan kegiatan belajar mengajar segera dimulai.

"Good morning, friends!"

"Good morning, Miss!"

Keceriaan khas anak-anak terdengar. Beberapa berebut bercerita tentang liburannya di hari Sabtu dan Minggu. Beberapa diam sembari mencuri-curi kesempatan menyeruput minuman bekal mereka. Beberapa lagi sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

Sebagai seorang guru kelas 1 di sekolah dasar, Arkadewi Nayanika, menanggapi seluruh celoteh dan tingkah murid-muridnya dengan senang hati.

Tidak ada sedikitpun rasa bosan, lelah, dan terbebani. Semua, ia anggap sebagai hiburan. Pekerjaan ini, ia jalani sepenuh hati meski bukan pekerjaan idamannya.

Ia tumbuh sebagai seorang anak manis, cucu perempuan satu-satunya di keluarga berbackground militer dan kesehatan.

Ayah ibunya, tenaga medis. Kakek hingga buyutnya, sebagian besar polisi dan sebagian lain TNI.

Itulah, mengapa ia selalu bermimpi melanjutkan tradisi keluarganya, menjadi anggota militer. Namun, impiannya terganjal restu.

"Miss, dulu Miss Dewi cita-citanya apa?"

Pertanyaan salah satu siswanya membuat guru muda itu tersenyum.

"Jadi Wara."

"Apa itu?" tanya salah satu muridnya.

"Wanita Angkatan Udara. Temen-temen tahu TNI nggak?"

Beberapa dari mereka menyahut. "Tahu dong! Papaku kan tentara. TNI itu Tentara Nasional Indonesia."

Sang guru kembali berbicara. "Nah, Miss dulu pengen jadi bagian dari kesatuan militer. Tapi ... Kata ayahnya Miss, Miss bolehnya jadi guru. So, ya sudah, Miss akhirnya jadi guru."

Salah satu siswi berkuncir dua menatap seksama pada Dewi.

"Kenapa kok Miss pengen jadi tentara? Kan serem Miss. Kalau dikirim perang gimana? Ih, kan Miss anak cewek."

Ucapan itu memancing banyak sekali komentar rekan-rekannya. Dewi membiarkan beberapa muridnya menyelesaikan argumennya sebelum ia menjawab. "Miss punya alasan kuat untuk itu. Salah satunya, Miss pengen meneruskan profesi kakek Miss. Kakek Miss, bekerja sebagai anggota dari Angkatan Udara. Dan, Miss pengen bisa sehebat kakek Miss."

Semua anak ber-oooo ria.

"Sudah, sudah. Yuk kita mulai belajarnya. Nanti kita ngobrol lagi waktu istirahat, ya?"

Dewi segera melaksanakan tugasnya, membimbing murid-muridnya belajar hari itu meski entah kenapa rasanya ada sesuatu yang mengganjal hatinya sejak kemarin.

Sesuatu yang tidak bisa ia katakan. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Perasaan tak enak yang tanpa ia sadari menggerogoti jiwanya.

***

"Cie, yang habis taaruf. Gimana nih kabarnya? Cocok?"

Suara iseng Tya terdengar menggelitik rungu Dewi. Gadis itu

"Ssst, nggak usah aneh-aneh. Ntar jadi gosip lagi. Siapa emang yang taaruf? Bisa-bisanya bikin kabar begitu."

Dua sahabatnya saling terkikik. Dewi pun ikut dalam obrolan. "Bu Haji taaruf? Serius? Sama siapa?"

"Ah, nggak usah didengerin, Mbak. Tya emang suka begitu. Mana berani aku ngelangkahin Mbak."

Dewi tersenyum. "Aku nggak masalah dilangkahin siapapun. Namanya jodoh kan nggak tahu kapan ketemunya. Siapa duluan yang ketemu. Aku emang lebih tua, tapi belum tentu aku lebih duluan ketemu jodohnya."

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang