Semerbak harum bunga kantil menggelitik hidung pria yang baru saja kembali mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang ia tekuni. Netranya tertaut pada sosok mungil yang tengah bersama keponakan kembarnya.
"Fahma!"
Mendengar panggilan dari sang pria, gadis itu segera mendekat. "Dalem, Den."
"Aku mau dengar tentang cerita itu."
"Cerita yang mana? Ini?" Fahma menunjukkan buku yang baru saja ia gunakan untuk bercerita pada dua keponakan Dewa.
Dewa menggeleng. "Bukan. Bukan ini. Cerita yang tempo hari kamu bicarakan dengan Mbok Halimah."
Fahma seperti terkejut. Ia kemudian mencari-cari alasan. "Den, mohon maaf, saya harus kembali ke pondok. Takut dicari Ning Zuhaira."
Dokter tampan itu menatap tajam pada si gadis lugu yang ia ajak kongkalingkong selama dirinya dalam persembunyian.
"Sekali kamu melangkah pergi dari sini, jangan pernah kembali lagi kalau begitu. Kerjasama kita selesai."
Dewa, melempar sesendok makanan ikan ke arah kolam. Bunyi gemericik air akibat ikan-ikan milik Langit yang berebut makanan terdengar riuh.
Fahma mendadak beku di tempat. Ia akhirnya mendekati Dewa dan mengambil posisi duduk di lantai, seperti biasanya.
"Den Dewa masih ingat, bagaimana pertama kali kita bertemu?"
Ada sedikit senyum kemenangan yang Dewa guratkan. Ia paham bagaimana mengambil kendali atas diri Fahma.
"Kita? Hmm... Aku dengar suaramu dari bilik sebelah. Kamu sedang bercerita seolah orang di sebelahku bisa mendengarnya, padahal semua orang di sana sedang koma. Termasuk aku."
Fahma mengangguk. "Ya, sejak empat tahun lalu, saya menggantikan tugas Simbah untuk mendoakan dan merumat pasien-pasien khusus seperti itu. Kami memang ditugasi untuk memberi support secara rohaniyah. Mendoakan mereka setiap hari, dan lain sebagainya, Den Mas pasti tahu, kan? Sebagai salah satu bentuk pelayanan rumah sakit pada pasien."
Dewa mengangguk. Memang benar, ada fasilitas itu di rumah sakit tempat ia dirawat dulu.
"Dan saya pernah dengar dari simbah, kalau orang-orang yang diuji dengan penyakit hingga hilang kesadaran, sesungguhnya mereka bisa mendengar apa yang terjadi di sekitar mereka meski tak bisa merespon. Simbah yakin hal itu. Makanya, selain mengaji di dekat mereka, mengajak bicara, simbah juga kadang membacakan cerita, untuk menstimulasi perkembangan otaknya agar berfungsi kembali, meski tidak selalu bisa berhasil."
Kali ini Dewa mencuci tangannya, kemudian duduk di kursi terdekat dari tempat Fahma bersimpuh.
"Dan, Den Mas adalah pasien pertama yang siuman selama saya mulai bekerja. Sebelum-sebelumnya, mereka... Allah lebih sayang mereka. Dan spesialnya lagi, saya sering mendengar hal-hal aneh dari pengunjung yang setiap hari mendatangi Den Mas. Saya mencatatnya, apapun yang saya dengar, karena hari demi hari aura si pengunjung semakin gelap saja meski tampilan fisik mereka cantik dan tampan."
Dewa paham siapa yang dimaksud.
"Awalnya saya tidak peduli, tetapi lama-lama saya jadi penasaran. Saya di bilik ujung, yang waktu itu menemani salah satu nenek dari teman santri saya, mulai kepo. Hingga, benar saja, saya dengar mereka ingin memastikan jika Den Mas meninggal. Tapi saya tidak berani bicara pada siapapun, sampai akhirnya saya melihat Den Mas membuka mata."
Dewa mengingat hal itu. Sejujurnya kala itu dia sudah sadar. Namun, dia dengar percakapan Sarah dengan Jatra jika ingin membunuhnya. Ia pun meminta bantuan orang yang ada di sekitarnya waktu itu, salah satunya Fahma yang menjadi saksi kunci semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...