Jika ini mimpi, lantas mengapa aku bias bangun dan tertidur berulang kali tanpa bias kembali ke dunia yang aku yakini adalah tempat dimana seharusnya aku berada? Sebenarnya, aku dimana dan mengapa aku bisa kembali ke masa ini?
Cipratan air dingin mengenai wajah dara yang tengah duduk di balok kayu sembari menunggu nasi di hadapannya matang. Jangan piker ia tengah melamun di depan magic com, tidak! Dia tengah berada di pawon, atau dapur di jaman awl kemerdekaan. Jangan magic com, lampu saja, belum banyak dipakai. Semalam ia harus beberapa kali berusaha menyalakan sethir, atau penerangan merakyat yang memang sempat dikenalkan sang nenek ketika dirinya masih kecil.
“Burung saja sudah bernyanyi, mengapa manusia malah melamun di pagi hari?”
Tjandra yang baru usai menyucikan sepatu dan beberapa peralatan entah apa, memulai pembicaraan. Dewi mendongak, ia menatap pemuda jangkung itu sejenak sebelum mengeucutkan bibir.
“Iseng banget sih,” protesnya.
Satu alis Tjandra terangkat naik. “Iseng?”
Dewi paham jika bahasanya terlalu milenial untuk makhluk keluaran tahun empat puluhan macam Tjandra. “Mas Tjandra nakal,” ralatnya.
Kali ini mata Tjandra justru semakin terbuka lebar. “Nakal? Astagfirullahal adzim! Kamu fitnah saya! Saya memang bukan orang kaya tapi saya tidak pernah menyalahi aturan agama dan negara. Bagaimana bisa kamu mengatakan saya nakal?”
Geram, terlihat betul dari ekspresi Tjandra yang tidak terima disebut nakal. Dewi mendadak takut. Ia bahkan tidak tahu mengapa air matanya keluar begitu saja, bak anak kecil yang tengah ketakutan.
“Bu-bukan gitu. Mas Tjan, itu tadi usil. Aku diam saja, tapi Mas basahin mukaku pakai tangan Mas yang basah. Itu kan nakal. Seperti anak-anak kecil yang main air dan memercikkan ke adiknya.” Panjang lebar, Dewi berusaha menjelaskan. Ia tak paham jika makna nakal jaman dulu dengan jaman sekarang berbeda.
Melihat lawan bicaranya menangis karena ketakutan, Tjandra menurunkan tensinya. Isakan Dewi yang kini tengah menangis bak anak kecil malah membuatnya tergelitik.
“Cengeng.”
Dewi masih terisak, ia benar-benar ketakutan akibat reaksi Tjandra tadi. “Mas Tjandra galak,” ucapnya di sela isak.
Kali ini Tjandra malah tergelak. Ia tertawa terbahak. “Sudah, diam. Mau kembang gula?” tanyanya sembari merogoh saku celana.
“Memangnya aku anak kecil yang bisa kamu sogok dengan permen?” protes Dewi. Tjandra malah semakin keras tertawa.
Namun, belum sempat ia memberikan permen itu pada Dewi, seseorang sudah mengambil alih tubuhnya. “Tjandra!”
Tangan Tjandra yang tadi terulur pada Dewipun terhenti. Sisi kiri tubuhnya sudah dikuasai oleh sosok wanita dengan gaya berpakaian cukup modern di masanya. Rambutnya dikuncir dengan pita dan terlihat dibentuk keriting sedemikian rupa. Gincunya merah merona, kulitnya kecoklatan terbakar matahari.
“Kenapa tidak langsung pulang? Aku sudah menunggu di rumah Romo.”
Kecupan di pipi kanan kiri diterima Tjandra dengan tatapan aneh. Dewi mematung. Ia hanya melihat keadaan.
“Astagfirullahal adzim, ternyata sama saja dimana-mana lelaki. Mengaku sholih, nyatanya pasrah saat dicium wanita cantic,” ucap Dewi tanpa maksud apapun sebelum melenggang pergi karena tidak mau menggangu moment dua orang di sana.
“Dew! Tunggu!” Tjandra spontan mencegah Dewi pergi.
Dewi hanya mengangkat satu tangan tanpa berkata apapun, ia terus melenggang, menghilang di balik gorden bermotif bunga-bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...