Kecamuk tak kunjung enyah dari dalam pikir. Rasanya ingin segera bangun jika memang ini mimpi, tetapi mengapa si maya itu perlahan menjadi nyata? Bukankah yang nyata bukan yang ada di depan mata?
Benturan demi benturan buah pikir dara yang tengah termenung di dalam ruang asing itu memporak porandakan logika.
"Aku Aryadewi Nayanika, aku dua puluh empat tahun dan aku seorang guru. Aku sulung dari tiga bersaudara. Dua adikku laki-laki."
Kalimat itu terus ia ucap seolah meyakinkan dirinya sendiri. Langit yang awalnya cerah biru berhias putih kapas awan berubah senja.
Ketukan terdengar dsri pintu kayu di sana.
"Nona?"
Dewi pun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri. Ia melongokkan kepala. Sosok jangkung itu berdiri dihadapannya.
"Setelah sembahyang nanti kita berangkat."
Ada sajadah disampir di bahu, serta kain lain di tangan sang pria.
"Itu... Sorban siapa?" Dewi bertanya.
"Milikku. Dari kakekku."
"Apa boleh aku pinjam? Aku ... Sebenarnya, aku pakai jilbab, tapi tadi ... aku ... aku bangun tanpaa jilbab."
Gadis itu terlihat takut saat berbicara.
"Jilbab? Oh. Non- kamu mau ini?"
Dewi mengangguk. "Boleh pinjam? Aku nggak punya kain lain untuk menutupi kepalaku."
Entah mengapa Tjandra tersenyum dan menyerahkan kainnya.
"Muslimah?" tanyanya seolah tak percaya.
"Iya, pasti. Astagfirullah, kenapa kayak nggak percaya?"
Tjandra menggeleng. "Sedang marak wanita berusaha menarik perhatian laki-laki dengan menghalalkan banyak cara. Termasuk dengan mengakui apa yang tidak ia imani."
"Naudzubillahi min dzalik! Astagfirullahal adzim! Aku itu muslim dari lahir, aku sholat, aku bisa ngaji kalau Mas mau ngetest. Aku hafal beberapa surah, meski belum 30 juz utuh. Setidaknya juz 30 sudah semua."
Dewi terpancing. Tjandra memicingkan mata. "Hafal?"
Gadis itu mengangguk sembari memasangkan kain putih di kepala.
"Iya. Papaku itu agamis. Kalau Mas sampai ketemu papaku dan papa tahu mas udah pegang-pegang aku tadi main gendong, pasti Mas udah disuruh tanggung jawab! Mas pasti udah disidang dan disuruh nikahin aku sekarang juga."
Tjandra menelan ludah. "Sa-saya pamit undur. Saya harus azan. Assalamu'alaikum."
Orang itu mendadak pergi. Mendengar tuduhan kurang baik atas apa yang ia lakukan pada seorang gadis asung tadi, jelas membuat Tjandra bergidik. Bagaimana jika Dewi benar-benar melaporkannya?
"Wa alaikumussalaam."
****
"Komandan, long time no see."
Sosok Dewa menyapa Tjakra yang baru saja turun piket.
"Dokter Dewa, masyaaallah. Assalamualaikum," ucap sang perwira.
Pria itu menjabat tangan rekan sekolahnya kala di sekolah dasar.
"I'm sorry for your lost. Your daughter, pasti sudah bahagia di surga."
Pria gagah dengan tubuh tegap itu tersenyum simpul. "Terima kasih. Qadarullah, semua memang hanya titipan. Terima kasih atas bantuannya dulu."
Masih segar diingatan Dewa ketika Aryani, istri Tjakra berlarian dari asrama ke klinik tempat Dewa bertugas dulu. Putri mereka yang baru berumur dua tahun mendadak panas dan kejang. Saat itu, Tjakra tengah bertugas di Irian Barat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomansaArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...