Bab 12. Bimbang

632 80 9
                                    


2023

Mata sembab wanita paruh baya yang sejak kemarin menangisi sang putri itu semakin merah saja. Nyawanya seolah tercabut separuh.

“Ma, makan dulu.” Salah satu dari dua putranya menawarkan.

“Ma, kalau mama terus kayak gini, terus mama sakit, siapa yang mau jagain Mbak?”

Satu putranya yang lain terlihat lebih vocal menyuarakan isi hatinya. Tidak seperti sang adik yang lebih lembut membujuk ibu mereka.

“Dek, bener kata anak-anakmu. Kamu harus makan dulu. Ya?”

Wanita itu malah menangis saat sang kakak ipar memberi masukan. “Mana bisa aku makan, sedang anakku di dalam sana hanya bertahan dengan alat-alat itu, Mbak.”

“Istigfar, Dek. Istigfar.”

“Mbak Zahro nggak paham sama apa yang aku alami!”

“Ayu! Jaga bicaramu!”

Sosok pria yang baru saja melakukan shalat jamaah bersama sang kakak dan keponakannya pun menegur sang istri. Dialah Muhammad Zainnur Arya Winata. Adik dari Bu Nyai Ainuur Zahroh Arya Winata, istri Kyai Sulaiman, pemilik pondok pesantren Darussalaam.

Arsanti Lituhayu atau yang akrab disapa Ayu, itu seketika terduduk lemas di lantai. Wanita bercadar di sampingnya segera memeluk sang adik ipar. Ia memang belum pernah mengalami dan jelas tidak ingin mengalami hal seperti adik iparnya, tetapi sebagai seorang ibu dengan empat belas anak dan tiga puluh tujuh cucu, jelas saja ia paham bagaimana rasa hati seorang ibu yang mendapati sang putri kesayangan tengah terbaring antara hidup dan mati.

“Istigfar dek, istigfar. Insyaallah, dengan doamu, dengan permohonan tulusmu, Dewi bisa segera pulih.”

Ayu memeluk kakak iparnya. Sementara itu sang suami hanya bisa terduduk di kursi ruang tunggu depan ICU.

“Ikhlaskan saja takdir ini.” Kyai Sulaiman mencoba menguatkan adik dari sang istri.

“Om Zain, apa ada keterangan dari kepolisian tentang pelaku tabrak lari ini?” Sosok pria berpeci yang serupa dengan Kyai Sulaiman bertanya.

Dia adalah Muhammad Zaidan Elhaq, dai muda yang juga berprofesi sebagai penggiat seni khat.

“Mas El,” bisik salah satu dari dua adik Dewi. Ia memberikan kode agar Elhaq mendekat. Bapak lima anak itu segera berdiri.

Ia mengikuti sepupunya, berjalan ke arah taman samping dekat ICU.

“Gimana Dev?”

“Ada yang mau aku omongin, Mas. Soal orang yang nabrak Mbak kemarin.”

“Udah ketemu orangnya?”

Devan menggeleng. “Bukan itu, Mas. Mmm … katanya sih, ini katanya loh ya. Katanya, mobil yang nabrak Mbak itu bukan mobil beneran. Well, banyak yang bilang itu mobil kuno jenis sedan gitu. Ada bendera merah putihnya di depan. Dan, banyak yang liat sih awalnya di jembatan, Cuma setelah itu dia ilang gitu aja.”

Elhaq mengernyitkan kening. “Maksudmu? Mbakmu ditabrak makhluk lain?”

Devan mengangguk penuh antusias. “Katanya to, Mas, memang kalau di sekitar situ itu angker. Kalau nggak ma-“

Belum sempat Devan menyelesaikan kalimatnya, dahinya sudah dipegang oleh sang kembaran. “Mas, ruqyah Mas. Tolong. Biar pikirannya nggak mitas mitos terus. Gini ini kalau jatahnya mondok malah kabur terus.”

Davan, memegangi tubuh kembarannya. Sementara Elhaq tertawa melihat  tingkah sepupu kembarnya itu.

“Kata polisi yang kemarin datang, mereka sedang menelusuri kejadian itu. Tadi pagi, ada orang yang datang tapi pimpinan proyek perbaikan jembatannya, Mas. Dia minta maaf karena kelalaiannya tidak menutup akses jembatan, membuat hal ini terjadi.”

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang