Bab 11. Salah Paham

699 92 3
                                    

Suara transmisi radio yang sinyalnya terganggu sayup-sayup terdengar. Hembusan semilir angin menyapa.

“Hai, wanita masa depan.”

Sapaan itu membuat gadis yang baru saja menikmati istirahat siangnya membuka mata lebar. Ia menoleh dan mendapati sosok berkulit putih dengan kemeja necis khas.

“Dari tahun berapa kamu? 2022? 2023?”

Entah mengapa jantung Dewi berpacu begitu kencangnya. Bagaimana Dewa bisa mengetahui jika dirinya berasal dari tahun-tahun tersebut?

“Apa era ini lebih indah dari masamu?”

Semakin saja banyak tanda tanya tergambar di pikiran sang dara. “Dok, Dokter bicara apa?”

Wajah yang tadi hanya dihias senyum tipis, kini berhias tawa lebar. Dewa terbahak keras. “Lucu sekali.”

Ucapan sang pria membuat Dewi semakin tidak paham apa yang dibicarakan oleh dokter yang dari awal perjumpaan mereka sudah mempunyai nilai minus di matanya.

“Aku dengar tadi tentang ceritamu pada anak-anak di sekolah. Ceritamu tentang tahun 2000-an yang luar biasa majunya. Halo, Nona. Imajinasimu liar sekali. Aku suka itu. Sepertinya kita cocok.”

Dewi mengubah posisi duduknya, sedikit menyingkir dengan tatapan tertuju pada ujung kaki lawan bicaranya yang masih bersandar di ambang pintu, berdiri.

“Oh, Namanya saja dongeng. Selama tidak menyalahi aturan agama dan negara, boleh saja kan berkreasi tentang sebuah cerita. Anak-anak akan lebih mudah paham jika kita terangkan lewat cerita dan nyanyian.”

Dewa mengangguk-angguk. Keduanya kini tengah berada di bangunan semi permanen yang biasa digunakan masyarakat untuk tempat berkumpul, baik sebagai sekolah untuk anak-anak di pagi dan siang hari, maupun untuk pertemuan warga desa di malam hari. Terkadang mereka Bersama-sama menikmati malam sembari mendengarkan wayang dari saluran radio.

Jangan bayangkan setiap warga dapat memiliki benda elektronik seperti di masa kini. Memiliki kenthongan saja sudah mewah sekali.

Tell me, tentang tahun 2023. Ada apa saja di sana?”

Dewi menoleh ke kanan ke kiri, ia tidak nyaman jika hanya berdua saja dengan Dewa. “Maaf sebelumnya Dokter. Tunanganmu akan marah kalua mengetahui calon suaminya Bersama duduk Bersama dengan gadis yang begitu ia benci.”

Guru muda itu memilih untuk beranjak pergi. Ia tidak mau kembali menyulut api. Sudah cukup rumit kenyataan yang ia hadapi, terbang kembali ke masa muda sang nenek. Tidak butuh ia, tambahan bumbu kericuhan hidup.

“Sartika tidak ada. Dia sedang bersama Tjandra.”

Mendengar keterangan itu, Dewi menghentikan langkah. “Dimana?”

“Mengambil hasil kebun Romo, di ujung desa. Itu, di atas sana.”

Satu titik ditunjuk oleh Dewa. Ada gubuk semi permanen yang terlihat dari tempatnya berpijak sekarang. Jaraknya mungkin sekitar satu kilometer dengan rute berkelok dan menanjak. Entah kenapa Dewi melangkahkan kaki kea rah itu.

“Hei! Kakimu belum sembuh betul!”

Teriakan Dewa tidak digubris sang dara. Dewi malah setenah berlari menuju ke tempat yang sudah Dewa tunjuk.

“Dasar wanita, cemburunya sampai mengalahkan segalanya? Aku iri denganmu, Tjan. Mengapa kamu bisa menarik wanita-wanita luar biasa seperti itu? Dulu Sartika, sekarang Dewi. Padahal aku jauh lebih segalanya darimu.”

***

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang