Bab 34. Keputusan

422 57 3
                                    

Cuaca buruk yang tadinya seolah tak akan berhenti, mendadak pergi. Kini bahkan mentari kembali menguning, karena waktu sudah sore. Entah apa yang bisa menyibak tebalnya awan kelam siang tadi. Davan tersenyum. “Laa hawla wa laa quwwata illa billah.”

Kalimat itu terlontar dari bibir si pemuda.

“Dek, kata mama disuruh ke ponpesnya Gus Utaybi. Barusan mama telpon. Ada yang penting katanya.”

Davan segera berdiri dan meletakkan al qurannya di atas rak.

“Ya udah, ayo Mbak ke sana.”

“Oke, Mbak ganti baju dulu ya.” Wanita yang baru saja selesai mandi itu berkata. Ia masih mengenakan baju rumah biasa.

“Iya, dandan yang cantik.” Davan bergurau. Sang kakak terkekeh.

“Kamu pake baju putih itu?”

“Iya, pake koko ini aja. Kenapa? Mbak mau ikutan pake putih? Abaya yang dibeliin mama kemarin aja di pake.”

Dewi berpikir, benar juga usul sang adik. Dari pada repot menyetrika baju, akan lebih baik memakai baju baru yang sudah siap. Tak repot setrika, tak repot memilih jilbab, karena abaya putih yang diberikan sang ibu sudat satu set. Tak perlu repot pula harus menyambung lengan dengan handsock karena modelnya sudah sangat-sangat memenuhi syariat berpakaian.

Tak perlu waktu lama, dewi hanya menambah sedikit polesan di wajah sebelum akhirnya mengambil sling bag kesayangannya dan menyusul sang adik yang sudah siap di dalam mobil.

“Kata devan, mereka bawa pulang orang special loh. Kembarannya Mas Langit katanya.”

“Oh ya? Mana ada Mas Langit kembar.” Dewi terkekeh.

Ia hanya tahu jika kedua orang tuanya bersama Devan tadi menghadiri acara pernikahan saudara jauh mereka. Tidak ada hal special lain yang dikatakan oleh orangtuanya saat memberi kabar. Hanya saja tiba-tiba sang ibu menyuruhnya untuk menyusul ke sebuah tempat.

Di sisi lain…

Pikiran Langit bercabang ke mana-mana. Siang menjelang sore itu, mendadak ia seperti dihantui bayangan nyeleneh tentang keumculan sosok Tjandra. Tjandra yang asli dan nyata yang masih terlihat begitu tampan meski usianya tak lagi muda.

Pria yang muncul karena diajak oleh orang tua Dewi. Bayangan yang begitu mengerikan membelenggunya. Jangan-jangan Dewi benar-benar akan membuangnya begitu saj apasca bertemu dengan Tjandra, yang usut punya usut sekarang menjadi seorang kyai di daerahnya pasca pension dini dari kariernya akibat kecelakaan yang dulu ia alami menyisakan sedikit cacat pada kakinya.

“Nggak, aku nggak bisa kayak gini. Nggak bisa, aku nggak mau kehilangan Dewi untuk kedua kalinya,” gumam Langit.

“Dek, calonmu nyusul ke sini tuh.”

Ucapan sang kakak semakin membuat otak Langit seperti tersiram pelumas. Ia segera melancarkan aksinya. Ia yang tadinya menepi saat keluarga besarnya melakukan temu kangen pasca kemunculan Tjandra, kini berdiri dengan gagahnya dan membuka suara.

“Romo, Bunda, Papa, Mama, bagaimana jika… ijab qobulnya dilakukan hari ini juga? Sekarang juga.”

Semua mata tertuju pada Langit. Dia pernah melakukan ide segila ini sebelumnya, di dunia yang lain. Dia memutuskan untuk mempercepat ijab qabulnya demi menyelematkan nyawa gadis yang entah sejak kapan mencuri hatinya itu. Namun, kali ini ia melakukannya demi menyelamatkan hubungannya dengan gadis itu. Sebelum Dewi mendepaknya karena ada sosok Tjandra asli yang hadir di sana.

“Masyaallah, Le, kan tinggal dua hari lagi. Seenggak sabar itu to kamu?” tanya sang ayah sembari tertawa.

Langit paham, semua orang menertawakannya sekarang.

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang