Bab 30. Another Level Of Life

503 72 9
                                    

"Jadi, siapa yang dimakamin kemarin?"

"Sarah. Dia ditemukan di sungai dengan kondisi tubuh seperti terbakar."

"Innalillahi wa innailahi rojiun."

Dewi menutup wajahnya dengan kedua tangan membayangkan kengerian yang terjadi. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Dewa. Pria 33 tahun yang akhirnya bisa lepas dari kutukan mengerikan itu.

"Bang, selama ini Abang di mana?" tanya Dewi penasaran.

Pria tampan yang hampir mirip dengan Langit itu tersenyum. "Ada di apart Candra yang kosong. Aku sengaja kabur ke sana."

"Lalu, siapa yang dikubur dulu?"

"Jenazah yang sudah lama tidak diambil pihak keluarga."

"Tunggu, kenapa Abang kabur dan merencanakan hal gila ini?"

Dewa tersenyum. "Karena aku sudah tahu kebusukan itu dari dulu. Lalu aku cari bantuan saat aku sadar dari koma panjangku. Aku meminta tolong perawat yang mengurusku dulu. Aku ceritakan semuanya. Awalnya dia tidak mau tapi akhirnya dia percaya saat aku menyuruhnya mendatangi rumah Sarah dan menguntitnya. Selama itu pun aku tidak bisa bicara. Jatra membuat aku tidak bisa bicara, tapi aku bisa berkomunikasi dengan gadget, jadi ya aku bisa jelaskan semua ke orang yang aku ajak kongkalingkong. Dan aku juga membayarnya dengan sepadan."

Dewi mendengarkan seksama cerita Dewa.

Deheman seseorang membuat keduanya menoleh.

"Apa tidak cukup koleksi hot wheels-ku yang kamu ambil diam-diam setiap kali masuk ke kamarku?"

Langit menatap tajam kakaknya. Dewa menanggapi dengan wajah tak sama songongnya.

"Dew, kamu tahu, bocah ini masih belum bisa berpisah dengan boneka kumalnya sampai SMA. Dia baru bisa lepas setelah ke Bandung karena malu di sana dia tidur di asrama."

Langit memelototkan matanya dan segera menyerang sang kakak. Pertikaian kecil dua saudara itu pun terjadi.

"Oh gitu cara mainnya?"

"Astagfirullah! Wa! Can! Kalian ngapain hm?" Karen muncul dengan cubitan mautnya membuat dua orang adiknya pun mengaduh bersamaan.

Hal itu memancing tawa Dewi. Dari arah yang sama dengan keluarnya Karen tadi, si kembar Devan dan Davan pun muncul. Mereka juga sama saja, saling nge-gas satu sama lain.

"Udah dibilangin, lu sih pe'a!" kesal Devan.

"Lah ngapain lu yang ngamuk. Kan emang gue nggak mau ikut campur."

Dewi pun menengahi. "Abang, Adek, kenapa kok kayak gitu ngomongnya? Hm? Ada apa sih? Sini, bicara baik-baik."

Tidak ada nada tinggi di sana. Ia mengode adik-adiknya untuk mendekat.

"Davan itu Mbak, dia diajakin buat ngusut kasus nggak mau." Devan mengadu.

"Bukan ngusut kasus, Devan itu kepo urusan orang, Mbak. Aku nggak mau." Davan membela diri.

"Bang Dev, manggilnya adek Davan yang bener dong. Adek juga, panggil abang yang baik."

Dewi mengelus kedua pipi adiknya. Dua pemuda yang belum lama lulus SMA itu akhirnya saling damai meski masih menggerutu.

Dewa dan Langit menelan ludah. "Dek, kayaknya kita doang yang apes. Punya kakak satu aja, ganasnya kek emak Singa habis lahiran." Dewa berkomentar.

"Iya, enak banget jadi Devan sama Davan, kakaknya lembut banget," sahut Langit.

Karen menatap kedua adiknya. Ia memukul kepala dua adiknya bergantian. "Kenapa? Kalian nyesel jadi adikku? Ha? Ya udah sana cari kakak baru! Cari kakak yang tahan sama tingkah manja kayak bayi kalian itu! Pencitraan doang yang satu jadi dokter, yang satu jadi pilot, tapi mental kek bayi! Sana cari kakak yang mau mungut kalian!"

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang