1960
Suara katrol timba berderit sedari tadi. Dewi diam-diam melihat ke arah sumur umum, tempat di mana tiga orang yang tengah berjuang menunaikan ucapan komandan konyol mereka, sekuat tenaga berusaha.
"Berapa banyak lagi?" tanya Djunaidi pada salah satu rekan yang membantunya.
"Kata Komandan, masih sembilan jerigen lagi."
Djunaidi menghitung jerigen yang sudah penuh. "Ada empat, kurang lima lagi, Sersan! Kami angkat yang ada dulu, ya?!"
Tjandra mengangguk. Ia menuang ember timbanya ke dalam jerigen-jerigen yang siap diangkat ke dalam kamar mandi asrama.
Dari kejauhan, Dewi pun akhirnya mendekat. Ia membawa sebotol air minum.
"Nggak capek, Mas?"
Pria yang kausnya basah keringat serta terciprat air yang ia timba itu menoleh. "Dek? Ngapain ke sini? Panas loh."
"Memangnya kenapa kalau panas?"
"Nanti kebakar matahari. Sayang kulitmu. Berteduh di sana saja." Tjandra menunjuk ke arah teras samping asrama.
"Mau bantuin, boleh?" tanyanya.
"Kamu mau bantu? Memangnya bisa? Hm?"
Dewi mencebik. "Aku dulu pernah bantu Eyang menimba air. Nih, minum dulu."
Botol minuman itu akhirnya diterima Tjandra. Sang pria tersenyum dan menggumam terima kasih. Ia pun duduk terlebih dulu sebelum menenggak minuman di sana sampai habis.
Dewi dengan isengnya menarik tarik tali timba. Ia mencoba hal yang sudah lama tidak ia lakukan itu.
"Astagfirullah," pekiknya saat tiba-tiba tali timba dari karet ban luar itu melukai tangannya.
"Ya Allah, Dek. Sudah Mas bilang, kan? Hm?" Tjandra tentu terkejut dengan apa yang dilakukan Dewi. Ia segera mengecek keadaan tangan gadis yang kemarin ia lamar itu.
“Lepaskan, coba lihat tangannya.”
“Ih tidak apa-apa kok, Mas. Tadi Adek cuma kaget. Nih, bisa kan?”
Dewi menarik timbanya pasca merasakan jika embernya sudah masuk sempurna ke dasar sumur dan memuat beberapa air.
“Dek, tanganmu nanti lecet,” ucap Tjandra. Ia mengulurkan tangan, menarik tali timba dari atas genggaman Dewi.
“Ih, ih, Mas, sekali aja, ya?”
“Berat.”
“Tidak berat!”
“Berat, Adek.”
“Tidak berat, Mas.”
“Berat, Dek, ayo lepas.”
“Enggak berat, Sayang.” Satu panggilan baru diucap Dewi.
Tjandra sedikit melebarkan matanya. “Kamu panggil Mas apa?”
Dewi menggeleng. “Sersan.”
“Bukan, bukan itu.”
“Ish, emangnya Mas tadi dengernya apa?”
Tjandra pun ragu mengucap. “Mm … Sayang.”
“Hm?”
“Sayang.” Ulang Tjandra.
“Dalem, Mas.”
Kali ini tali ember timba menjadi saksi kebucinan yang tengah menginfeksi sepasang muda mudi di sana.
Tjandra dan Dewi tidak sanggup menahan salah tingkah, hingga keduanya saling tersenyum sembari menarik timba bersama.
“Ehem, ada apa ini gerangan? Sepertinya burung merpati berubah menjadi manusia?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...