Bab 42. Kilas Masa Itu

358 34 7
                                    

Tjandra, laki-laki berambut putih itu kini menatap langit luas di depannya.

Telinganya berdenging. Entah kenapa sejak ashar tadi, perasaannya tak enak.

"Mas Tjandra?"

Panggilan itu terdengar di antara gemericik air kolam. Sang pria menoleh.

"Dewi?"

"Hai. Maaf, Mas, apa Fahma di sini? Tadi dia mengabari katanya ada di sini. Mau titip jarit untuk eyangnya."

"Oh, mereka baru ke luar. Mungkin sebentar lagi pulang. Baru beli apa entah, tapi nggak lama kok. Silakan duduk dulu."

Sang tamu mengangguk. Tjandra pun berusaha biasa saja. Menyambut wanita itu bak tamu biasa. Ia menuangkan teh dari poci yang tadi disediakan Dewi, keponakannya, di atas meja.

"Minum dulu, Dew. Ini teh goreng. Mbak Halimah yang buat."

"Mbak Halimah sehat kan ya? Sudah tiga bulan aku ndak main ke sini."

"Kamu... Kamu masih sering ke sini?"

Dokter Dewi mengangguk. "Ya. Aku masih sering ke sini, main sama Mbak Mah. Tapi... Kucing-kucingan dengan Pak Jatra."

"Pak Jatra?"

"Ya. Aku sengaja membantu keponakanmu bersembunyi dulu. Pak Jatra, dia benar-benar mempergunakan ilmu hitamnya untuk bertahan selama ini. Dia sering menculik bayi-bayi di rumah sakit. Dia sering mencari tumbal orang-orang tak berdosa, dan dia tetap menyimpan dendam pada keluargamu, Mas. Dia menghidupkan kembali Sartika, Sartika dalam wujud lain. Putri Sartika dengan entah siapa, dia tumbuh menjadi gadis dengan paras serupa ibunya. Namanya Sarah dan dia dijodohkan dengan Dewa, keponakanmu. Hingga akhirnya Dewa terlibat kecelakaan dan dia dirawat lama di rumah sakit Mas Krisna. Aku yang mengurusnya di ICU bersama Fahma dulu. Kami saling bantu. Aku tidak mau Pak Jatra menghancurkan keluarga ini. Terlebih setelah kamu hilang dulu."

Tjandra menatap wanita dihadapannya dengan seksama.

"Aku tidak hilang. Aku... hanya terbangun dan lupa sebagian tentang diriku. Aku hanya ingat kita terakhir bertemu di pergantian tahun 1989. Cukup jauh dengan masa perkenalan kita pertama kali di 1969, di saat kamu baru lulus sekolah. Aku kembali menata hidupku di tahun-tahun 90 awal. Di usiaku yang sudah terlampau matang dan aku memberanikan diri menikahi wanita yang selalu ada di sisiku sejak kamu menghilang di 1989."

"Waktu itu... Aku nekat ke sini. Lari dari rumah suamiku. Aku pikir aku bisa menemuimu dan meminta maaf. Waktu itu, orde baru sudah hampir berakhir. Suasana politik sudah aman dan kondusif sehingga aku bisa kembali ke sini. Tapi, mereka bilang Mas sudah meninggal saat agresi berlangsung. Aku... Aku...."

Dokter Dewi terbata.

"Dek, sudah. Lupakan semuanya. Hapus rasa bersalahmu. Semesta memang mempertemukan kita, tetapi hanya sebatas itu. Semesta tidak mempersatukan, hanya mempertemukan saja."

Dokter Dewi tertunduk dalam. Ia menangis dalam diam.

"Mas... Aku... Kalau boleh jujur, aku masih memendam rasa yang sama."

"Dewi, jangan begitu. Jangan. Kamu sudah bertemu dengan pangeranmu. Aku pun sudah menemukan ratuku sendiri. Maaf Dek, kamu bisa tunggu di sini dulu, aku mau istirahat di dalam."

Dokter Dewi paham, Tjandra bukanlah Tjandranya dulu. Mereka sudah tak mungkin bersama lagi.

"Aku sudah meminta ijin pada istrimu untuk menemuimu di sini dan menyudahi semuanya. Aku... Aku hanya ingin mengabarkan satu hal lagi. Dulu... Kita pernah hampir bersama... Ng itu, di masalalu... Cincinnya sudah aku kembalikan ke keluargamu. Sepertinya sekarang dipakai keponakanmu, Langit dan Dewi."

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang