Satu setengah jam, perjalanan di tempuh oleh rombongan Langit. Ia dan kakak serta keponakannya langsung menuju rumah sakit. Sang ayah terlihat kuyu di atas sajadah, terpekur. Sang ibu tergolek tak berdaya di atas ranjang.
“Romo.”
Panggilan itu membuat pria sepuh tadi menoleh. Ia segera memeluk putrinya yang datang. “Nduk, Bunda, Nduk.”
Suaranya tercekat. Pria yang merupakan pengusaha ternama di bidang kontruksi itu mendekap erat sang putri, menyalurkan kepedihannya. Ia juga menerima salam dari menantunya yang menggendong dua cucu kembarnya. Di urutan akhir ada Langit yang menggendong Una. Tiga cucu Romo Dirga tertidur pulas. Jam memang sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Ini saja kalau bukan lewat jalur dalam, mereka tak akan bisa masuk ke rumah sakit di jam-jam tersebut.
“Tadi, Bunda memanggil-manggil Dewa. Terus dia memanggil-manggil Sarah. Setelah itu muntah darah dan sempat pingsan. Romo bawa ke sini, jam sepuluh tadi sempat bangun, dia tanya kamu, Le, Candra.”
Langit terduduk lemah. Semenjak hari pemakaman sang kakak, ibunya memang selalu seperti ini. Histeris menyebut nama Dewa, Sarah, dan namanya, tanpa bisa berkata apapun.
“Kapan kamu mau menikahi Sarah, Le? Sepertinya ibumu pengen kamu cepat menikah.”
Langit tidak bisa menjawab. Beruntung Sakti membantunya.
“Mo, apa iya Candra harus menikah dengan Sarah? Apa Romo tega jika dia harus menikahi orang yang tidak dia cintai? Padahal dia punya pilihan sendiri. Apa Romo mau sepanjang hidupnya, Candra akan tersiksa karena keterpaksaannya?”
Pria yang akrab disapa Romo Dirga itu menatap menantunya sebelum mengalihkan ke pada putra bungsunya. “Apa benar kamu punya pilihan sendiri?”
Langit yang gugup tidak bisa menahan jemarinya yang bergerak-gerak sedari tadi, hingga tak sengaja cincin di jari manisnya terlepas. Cincin itu jatuh di depan kaki sang kakak. Sakti memungutnya cepat.
“Ini, Mo buktinya,” ucap Sakti asal.
Langit memang bukanlah orang yang pandai mengkonfrontir orang tuanya. Dia hanya anak manis yang akan selalu taat pada apapun yang diminta oleh orangtuanya termasuk, menggantung seragam pilot kebanggaannya demi meneruskan bisnis sang ayah di bidang konsruksi.
“Tjandra Dewi,” gumam sang ipar saat iseng membaca apa yang ada di kolong cincin tersebut.
Kalimat Sakti jelas menimbulkan kekepoan istrinya. “Eh bener? Ya Allah. Dek, kamu jadi…jadi kamu selama ini diem-diem nyembunyiin hubungan kalian? Karena Romo maksa kamu nikahin Sarah setelah Dewa meninggal?”
“Candra jawab Romo, siapa itu Dewi?”
Langit akhirnya buka suara. “Guru Una, Romo.”
Sang kakak kemudian menyodorkan ponsel dan menyerahkan pada sang ayah. “Mo, coba Romo lihat. Candra kita ini, begitu ketakutannya melihat gadis yang sekarang sedang koma itu anfal tempo hari. Pernahkah Romo sebagai ayahnya melihat putra bungsu Romo ini peduli dengan orang lain selain anggota keluarga inti kita?”
“Kak.” Langit mencoba protes tetapi ia tidak tahu harus bagaimana memprotesnya.
Di saat sang ayah sedang mengamati video itu terdengar suara lirih memanggil.
“Can dra… Candra … candra….”
Langit segera berdiri, ia memastikan jika suara itu berasal dari bibir ibunya. Wanita yang sejak kematian sang kakak hampir tak lagi bisa bicara, seperti penderita stroke berat.
“Bunda? Dalem Bunda.”
Langit mendekat dan mencium wajah ibunya yang kini terlihat pucat pasi. Kerut di wajah cntik itu begitu terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbang Ke Masamu (TAMAT)
RomanceArkadewi Nayanika, seorang guru yang kehidupannya tak pernah jauh dari dongeng sang ibu. Sejak kecil, ia selalu mendengar kehebatan sang kakek, yang bahkan ibunya pun tak pernah berjumpa karena sang kakek berpulang sebelum ibunya lahir. Suatu hari...