Bab 4. Langit Senja

982 103 1
                                    

Dua orang yang tangannya terkait satu sama lain itu terus berdekatan.

"Mas," panggil Dewi.

Tidak ada jawaban karena Tjandra terlalu sibuk berbicara dengan Tjakra tentang sesuatu hal yang sama sekali tidak dimengerti oleh sang gadis.

"Maaas," rengeknya lagi sembari menarik-narik tali yang mengikat tangan mereka.

"Bisa diam dahulu atau tidak? Saya sedang berbicara dengan atasan saya!" Bentakan itu membuat Dewi seketika terdiam.

Ia akhirnya melepas paksa tali yang ada di tangannya kemudian berjalan ke arah lain. Ia memilih untuk duduk di pinggir teras. Kakinya sakit luar biasa.

"Ayah," lirih sang dara sembari berlinang air mata.

Ia menatap langit kosong di atas. Senjanya terasa sama dengan senja di tahunnya. Namun, mengapa ia berada di tempat asing yang sama sekali tak ia kenal.

"Ayah, aku mau pulang. Tapi aku nggak tahu harus gimana caranya." Monolog sang dara.

Nyeri di kakinya semakin menjadi. Ada rembesan warna merah di balutan elastic band itu. Ia membukanya.

Kaki mulusnya kini terluka. Ada luka terbuka yang sepertinya sudah diobati entah oleh siapa.

Pemuda yang tadi membentak Dewi kini sadar jika talinya tak lagi tersambung. Ia menoleh ke belakang. Gadis yang mengikutinya ternyata sudah duduk di tempat yang jauh.

"Ada apa?" Tjakra yang tadinya fokus pada pembahasan tentang pekerjaan mendadak menatap Tjandra dengan seksama.

"Mohon ijin, Bang. Bolehkah saya bicara dengan De- Nona Dewi terlebih dahulu?"

"Dewi? Ah, iya. Saya lupa. Silakan. Dia menunggu di sana? Saya kira tadi dia mengikuti kita."

Tjakra memang terlalu fokus dengan penjelasan mengenai pekerjaannya dengan beberapa juniornya termasuk Tjandra tadi, hingga tak menyadari jika gadis yang mengaku sebagai saudari istrinya itu tak di sana.

Dewi terlihat berjalan menjauh. Satu kakinya diseret dan salah satu tangan memegang tiang atau benda apapun yang bisa ia jadikan sandaran.

Mau ke mana dia?

"Susul dia. Ajaklah dia makan dahulu. Saya istirahat di barak ya."

Tjandra segera mengiyakan ucapan sang senior sebelum berjalan ke arah Dewi berada.

Sang pemuda mengira jika gadis itu akan pergi kembali ke ruang rawat khusus tempat ia tadi ditangani. Namun, tidak. Gadis itu malah menuju ke arah lain. Arah di mana pintu gerbang bagian belakang dari kompleks itu terbuka satu pintu.

Tjandra mengikutinya diam-diam. Langkah diseret itu perlahan mulai seperti dipaksakan. Bahkan diakhir usahanya, Dewi sesekali mengangkat kaki kirinya dengan tangan.

"Mau ke mana dia?" Pemuda itu bermonolog.

Belum sempat Dewi sampai di gerbang dengan pos tanpa penjaga itu, Tjandra berlari lebih cepat menyusulnya.

"Berhenti! Mau ke mana, Nona?"

Dewi tidak menjawab. Ia terus berjalan.

"Tunggu dahulu! Berhenti! Ini perintah!" bentak Tjandra.

Dewi mendongakkan kepalanya. "Saya bukan bawahan Anda, Serma Tjandra yang terhormat. Saya hanya orang sipil yang tidak ada kaitannya dengan siapapun di sini. Saya tidak seharusnya di sini."

Tjandra mendadak terdiam. Ia mengamati gerak-gerik wanita itu. Jauh berbeda dengan Dewi yang tadi. Matanya yang sembab menyisakan sakit tak terkira.

Pemuda itu tidak memberikan respon. Ia belum pernah menghadapi wanita. Otaknya mendadak tumpul. Matanya masih menyorot sosok yang semakin menjauh.

Terbang Ke Masamu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang