35. Jangan sentuh

24 13 0
                                    


Emosi Fenly memuncak setelah melihat rekaman cctv minimarket yang memperlihatkan interaksi antara ayah dan anak itu. Urat-urat di lehernya menegang, belakang telinganya memerah tanda ia sedang menahan emosi. Tangan pria itu juga terkepal sangat kuat.

Jane terlihat sesekali menimpali ucapan pak Dito sampai akhirnya pria paruh baya itu menarik paksa lengan Jane untuk ikut dengannya.

"Argh!!" Fenly meninju meja kasir dengan refleks membuat kaget beberapa pegawai yang ikut menyaksikan rekaman itu.

"Allahuakbar," "Eh, ayam-ayam." Latah mereka, kaget.

"Sorry," ucap Fenly. "Makasih bang."

Pria yang berdiri di depan komputer itu hanya mengangguk singkat sebagai respon, ia tengah sibuk mengotak-atik komputer nya.

Fenly langsung pergi meninggalkan minimarket menuju arah kemana Jane pergi.

Setiap jalan tak luput dari perhatian Fenly, pria itu benar-benar menjalankan mobilnya dengan pelan berharap dapat menemukan Jane secepatnya. Fenly celingak-celinguk tak tenang. Gelisah bahkan takut bercampur menjadi satu, tak ada hal baik yang singgah di pikirannya. Entah mengapa segala hal buruk melintas silih berganti di kepala. Bagaimana jika pak Dito membunuh Jane? Lalu organ-organ tubuh Jane ia jual untuk membayar hutang judinya yang menumpuk?

"Argh!!" Fenly memukul stir mobil. Tak mungkin pak Dito senekat itu.

Fenly baru ingat jika GPS handphone Jane sudah terhubung di handphone nya. Pria itu segera merogoh saku dan mengecek.

Dan benar saja masih terhubung. Lokasi Jane bahkan terpampang jelas di sana. Tanpa basa-basi lagi Fenly langsung menginjak pedal gas dengan kuat, dan mobil melaju kencang di jalanan.

"Dito bajingan! Awas aja kalo Jane kenapa-napa!!" Gerutunya.

***

"Jane mau dibawa kemana, pak?" Tanya Jane bingung. Ia tak henti mengamati sekitar, menghapal jalan mana saja dilaluinya agar jika sesuatu terjadi ia akan dengan mudah kabur.

"Cari obat buat bapak, Nak." Jawab pak Dito.

Jane tak tahu apa yang ada dalam pikiran sang bapak, namun Jane yakin itu bukan hal baik. Dari semenjak bapaknya menarik lengan Jane secara paksa sampai masuk kedalam taxi, Jane tak bisa berfikir baik lagi. Ia malah mengutuki kebodohannya kenapa percaya dan ikut bersama pak Dito.

Taxi yang di tumpangi mereka akhirnya berhenti di sebuah bangunan dua lantai yang berada tak jauh dari jalan utama.

Pak Dito keluar setelah membayar ongkos taxi di ikuti oleh Jane yang masih menatap bingung sekitar.

Bangunan dua lantai itu terlihat biasa saja dari luar, bahkan penerangannya saja masih menggunakan lampu bolham kuning membuat cahayanya hanya remang-remang.

Dua orang pria berjaga di depan pintu masuk, membuat Jane berpikir keras apa yang ada di dalam bangunan itu.

"Ayok nak, teman bapak sudah menunggu." Ajak pak Dito. Pria itu berjalan lebih dulu. Jane bergeming, ia bahkan enggan untuk bergerak satu langkah pun dari sana.

Jane kembali memperhatikan sekeliling. Tempatnya cukup sepi, hanya ada beberapa bangunan kosong dan pohon-pohon yang menjulang tinggi sisanya hanya tanah lapang yang beberapa titik di penuhi oleh ilalang.

Beberapa orang keluar masuk silih berganti kedalam bangunan itu. Dari yang tua hingga muda, dari kalangan tinggi yang memakai jas lengkap atau sekedar baju kemeja rapi bak CEO perusahaan hingga orang biasa yang hanya memakai kaus oblong dan celana pendeknya.

Jane menelan saliva susah payah, ia baru sadar jika orang-orang yang datang kesana rata-rata pria. Tempat apa sebenarnya itu.

"Jane, ayok. Lama banget, jangan ngelamun disitu nanti kesambet." Entah sejak kapan pak Dito sudah berada di sampingnya lagi. Pria itu lagi-lagi menarik lengan Jane dengan paksa untuk mengikuti langkahnya. Meski sudah menahan sekuat tenaga agar tetap berdiri kokoh di tempat, nyatanya tenaga pak Dito lebih kuat berkali-kali lipat dari tenaga Jane.

Jane & Fenly [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang