Frasa Pembuka

494 32 2
                                    

Avanza putih tulang berhenti di depan salah satu toserba terbesar di kota mereka. Seorang wanita keluar lebih dulu sembari membawa selembar kertas berisi daftar barang yang harus dibeli. Berderet. Sangat banyak. Jika hanya mengandalkan ingatan, agaknya akan banyak barang yang tak masuk troli.

Seorang pria menyusul keluar. Setelah memastikan kendaraan terkunci dengan baik, dia menghampiri si wanita yang sudah menarik sebuah troli dari deretan yang tersedia di pintu masuk. Mereka lantas masuk bersama.

"Biar cepet, Mas Pupuh ke bagian susu ibu hamil, deh. Pasti inget apa yang biasa diminum, 'kan? Biar aku ke bagian yang lain."

"Enggak akan nyasar, 'kan?" Pria itu mengirim tatapan jenaka.

"Yeee! Enak aja. Ya, enggaklah. Toserbanya enggak besar-besar amat. Mana ada nyasar." Wanita yang mengepang satu rambutnya itu menggelembungkan wajah, merasa diremehkan, membuat pria di sampingnya terkekeh pelan.

"Oke, kita pisah. Kalau ada apa-apa, cepet hubungi Mas."

"Siap!" Jempol tangan kanannya teracung.

Mereka melangkah ke arah yang berbeda. Gerakannya gesit mengambil beberapa produk keperluan rumah tangga yang sudah tercatat dalam daftar. Berpindah dengan lincah dari satu lorong ke lorong lain. Sejenak singgah di bagian camilan dan mengambil beberapa bungkus snack, permen, dan cokelat. Tidak lupa mampir ke chiller karena beberapa orang rumah menitip susu kotak, yogurt, kopi kemasan, dan beberapa minuman ionisasi.

Trolinya hampir penuh saat langkah wanita itu tiba di deretan khusus buku. Ya, selain menjual beragam kebutuhan rumah tangga, di sana juga tersedia pernak-pernik hiburan dan hobi. Ada rak-rak berisi novel dan buku harian. Ada pula majalah-majalah anak. Di ujung lorong, rak-rak justru dipenuhi dengan perlengkapan alat tulis dan mainan.

Wanita itu mendatangi salah satu rak novel fiksi. Di deretan paling atas khusus untuk judul-judul best seller mingguan. Ada sepuluh judul yang terpajang dan salah satunya membuat wanita itu tertegun.

Tangannya terulur, menyentuh barisan judul dan nama penulis yang terlampir di permukaan cover. Hangat segera menyergap kedua mata, membuatnya langsung mengerjap; menahan apa yang akan luruh dari dalamnya.

Nama penulis buku berjudul Frasa Alinea itu sangat familier. Sederet nama yang mungkin hanya satu-satunya di dunia ini. Tiga kata yang dimiliki seseorang yang pernah menjadi bagian dari memorinya pada masa lampau.

Dia tak mungkin salah mengenali.

"Mau beli novel, Lin?" Suara pria di sampingnya menarik kembali kesadaran wanita itu.

"Kenapa, Mas?"

"Kamu dari tadi mandengin novel itu terus. Mau beli novel? Bukannya kamu lebih suka komik?"

Dia mengambil satu eksemplar novel berjudul Frasa Alinea dan memasukkannya ke troli belanjaan. "Sesekali baca novel kan enggak salah."

"Enggak yakin bisa habis satu buku itu."

"Suka meremehkan nih Mas Pupuh." Wajah wanita itu menggelembung. Tidak marah betulan. Mereka memang sudah terbiasa berinteraksi seperti itu.

"O, kalau enggak salah, penulisnya bakalan jumpa fans, tuh. Besok. Di sini."

Mereka beranjak dari lorong perbukuan. Semua barang dari daftar sudah masuk ke troli. Bahkan Pupuh menambah satu troli lagi untuk menampung ketidakmuatan belanjaan.

"O, ya?"

Pupuh mengangguk. "Nama penulisnya unik sekali. Sebaris Frasa Bahari. Jadi, ngingetin sama namamu, Lin. Seuntai Alinea Bahagia."

Wanita itu terkekeh, sedangkan dalam hati tersenyum sedikit pedih. Besok jumpa fans Frasa. Jika memiliki keberanian, mungkin dia akan datang dan menemui penulis yang karyanya sedang banyak diperbincangkan khalayak.

Ya, itu pun jika dia masih memiliki muka untuk bertemu dengannya. Pria yang telah dia lukai bertahun-tahun lalu.

***

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang