Frasa Kesembilan

100 13 0
                                    

Kenapa Tuhan selalu tahu kapan waktu yang tepat menguji seorang hamba?

Begitulah kira-kira yang menjadi bahan gerutuan sebagian besar anak kelas X-3 saat jadwal Penjaskes datang. Beberapa hari belakangan, hujan setia mengguyur sejak pagi hingga sore. Tidak jarang dari pagi bertemu pagi. Namun, untuk hari itu, saat mata pelajaran olahraga mereka menyapa, terik bola api raksasa justru tersenyum cerah merona. Memanggang apa saja yang ada di permukaan bumi. Bentangan-bentangan pakaian basah yang tertimbun beberapa hari belakangan langsung kering hanya dalam beberapa jam setelah dijemur.

Sungguh kasihan anak kelas X-3. Jatah mapel olahraga terletak setelah jam istirahat pertama. Saat matahari sedang terik-teriknya. Semangkuk bakso atau ketoprak yang mereka makan sebelumnya langsung berubah jadi keringat.

Lebih menyebalkannya lagi, mereka diminta memakai lapangan belakang yang merupakan lapangan bersama dengan SMK sebelah. Jadi, di area tersebut, terdapat dua sekolah menengah tinggi. Yang satu berbasis SMA, satu lagi berbasis kejuruan atau SMK. Sama-sama sekolah negeri kecamatan 1, tetapi sejarah membuat kedua sekolah ini justru jarang akur. Mereka terlibat persaingan tak kasat mata yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Saat gerombolan anak X-3 sampai, lapangan belakang sudah dipenuhi anak-anak SMK. Separuh lapangan telah mereka kuasai untuk menjalani penilaian materi lari. Separuh lagi baru akan digunakan anak-anak SMA untuk belajar passing sepak bola. Kondisi lapangan yang berumput sangat cocok untuk latihan materi ini.

Awalnya berjalan aman-aman saja. Kedua sekolah melakukan tugas masing-masing. Namun, semua berubah setelah guru pengajar meninggalkan lapangan dan membebaskan mereka pada sisa jam. Tiga puluh menit sebelum mapel berakhir.

Segerombolan cowok SMK menghampiri gerombolan cowok X-3 yang sedang bermain bola--memanfaatkan setengah lapangan yang mereka pakai.

"Woah, ternyata kamu sekolah di sini, Bro!" Seorang anak laki-laki menghampiri Frasa. Berlagak sok akrab dengan menepuk-nepuk bahunya.

Hanya saja, raut enggan justru terbit di wajah berpeluh Frasa. Tampak tak nyaman dengan kemunculan cowok itu.

Sementara siswa X-3 berniat main bola, para siswi justru memenuhi pinggir lapangan dan mencari lokasi strategis untuk menghindari terik matahari yang makin menggigit. Tidak terkecuali Alinea. Dia sudah menyabotase salah satu pohon rimbun di sekitar lapangan. Pohon mahoni yang cukup dewasa, tetapi belum terlalu tua. Dahan-dahan yang menjulur panjang ke kanan dan kiri dengan banyak daun, setidaknya, berhasil melindungi gadis itu dari sengatan si raja siang.

Menyusul kemudian Lika dan Puspita. Duduk mengapit Alinea karena tak menemukan tempat lain yang cukup strategis. Kalau saja Pak Hilman sudah membolehkan mereka ke kantin, sudah pasti anak perempuan lebih memilih tempat tersebut untuk melepas lelah.

"Gimana, Bro? Mau tanding enggak?" Sambil merangkul, cowok dengan kepala cepak itu mengajukan tantangan.

"Enggak minat. Maaf." Frasa melepas paksa rangkulan bocah SMK itu.

"Eit, eit, eit! Apakah dengan masuk ke SMA, kamu jadi sepengecut ini, Frasa?"

Frasa berusaha mengabaikan. Tidak mau terpancing karena toh apa yang dikatakan cowok itu tidak merugikan.

"O, jadi benar. Anak SMA emang payah-payah ternyata. Duh, kasihan bapakmu, Sa! Punya anak kok sepayah ini?"

Frasa langsung meradang. Langkah yang tadi hendak menjauh dari Bocah Cepak justru berbalik. Tanpa tedeng aling-aling, Frasa mencengkeram kerah baju bocah itu.

"Aku enggak pernah minat cari gara-gara denganmu, Dirga. Kuperingatkan untuk jangan pernah membawa bapakku. Namanya terlalu berharga untuk disebutkan oleh orang sepertimu."

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang