Frasa Ketiga Puluh Empat

57 11 0
                                    

Salah satu hal melegakan yang lelaki itu dapat adalah pertemuan kembali dengan sahabat lama. Gadis yang dulu petakilan itu telah menjelma perempuan berpredikat ibu dengan tiga orang anak. Satu di antaranya sangat dia kenal. Sering berkunjung karena ternyata menjadi relawan di lembaga penanganan kejiwaan tak seberapa besar itu.

Satu lagi yang menghangatkan dada adalah dus karton berukuran sedang dengan beberapa bundaran kue gemblong di dalamnya yang disodorkan si kawan lama. Bukankah itu sangat spesial? Sahabat lamamu masih mengingat dengan baik kudapan favoritmu. Membawanya untuk menemani pertemuan yang telah terjeda selama belasan bahkan mungkin berbilang lebih dari dua dasawarsa.

Jian berusaha tak menarik perhatian dengan tatapan, tetapi sulit. Sangat sulit ketika perempuan itu mengempas duduk di sampingnya. Ingin sekali dia tatap baik-baik pemilik mata bundar yang kerap dia juluki sebagai Si Mata Boneka. Mata tercantik yang pernah dia temui sepanjang empat puluh enam tahun hidup di dunia. Mata yang jika memelotot sangat mengerikan sehingga membuatnya sering jail dengan mengatakan bahwa mata perempuan itu mirip Sundel Bolong. Lalu sebagai balasan, potongan kapur, penghapus buku, atau bahkan gumpalan kertas akan terlempar ke arahnya tanpa sungkan.

"Aku senang kamu terlihat sehat, Jian."

Dia hanya mampu memperhatikan dalam tunduk dengan ekor mata. Aku pun senang melihatmu tampak sehat dan bahagia, Rita.

"Aku harap, pertemuan pertama kita, harusnya, dalam posisi yang lebih baik dari ini." Bunda menatap langit.

Kelebatan burung gereja mengangkasa di sana. Tidak berapa lama malah bertengger di salah satu pohon angsana terdekat.

Maafkan aku, Rita. Aku bahkan tidak berekspektasi bahwa kamu akan mampir untuk menjengukku.

"Walau begitu, aku senang karena masih berkesempatan menemuimu. Sudah lebih dari cukup untuk disyukuri. Meski tak begitu baik situasinya, kamu yang di sini dengan kondisi sehat pun sudah membuatku senang. Maaf baru menjengukmu sekarang, Jian."

Tidak, Rita. Jangan meminta maaf. Apa yang salah denganmu? Seharusnya, aku yang meminta maaf karena tak menyambutmu dengan kondisi terbaikku.

"Kamu tahu, Jian?"

Soal apa, Rita? Kalimatnya hanya mampu bersuara di dalam kepala. Jian terus menunduk. Berakting bahwa dirinya tak memedulikan ocehan perempuan itu sembari terus menulis sesuatu. Kalimat-kalimat yang maksudnya abstrak karena sebagian perhatian tertuju untuk mendengar suara perempuan di sampingnya.

"Anak lelakimu dengan anak perempuan keduaku berkawan baik. Mereka di kelas yang sama. Bahkan teman satu meja. Aku enggak sangka kalau takdir mereka dibentuk untuk mengulang kisah masa lalu orang tuanya."

Jian tersenyum samar. Aku tahu, Rita. Bahkan anak gadismu selalu menemaniku. Dia relawan di sini. Gadis manis nan baik yang menyenangkan. Ceria. Penuh tawa seperti saat kamu muda dulu.

Bunda terdengar menghela napas. Jika membahas Frasa dan Alinea, selalu ada hal mengganjal di hati perempuan itu. "Aku berharap, Frasa enggak menyukai Alinea, Jian."

Gerakan tangan Jian di permukaan berhenti. Bolpoinnya habis tinta, tetapi yang paling mengambil atensi adalah kalimat kawan lamanya. Sesuatu yang mengherankan. Kenapa kamu mengatakan hal itu, Rita?

Bunda menerawang langit menjelang sore. Sapuan awan mulai terhiasi semburat-semburat oranye dan kekuningan. Lenguh kedasih melintas di atas kepala mereka. Bersahutan dengan klakson kendaraan di luar dinding pembatas bangunan lembaga penanganan kejiwaan tersebut.

"Alinea ... enggak sama dengan gadis lain, Jian. Ada hal yang mungkin enggak akan bisa diterima oleh orang yang ingin memilikinya jika tahu seperti apa Alinea yang sebenarnya. Aku enggak tahu apakah Frasa sanggup menerima Alinea yang seperti itu jika pada akhirnya, ternyata, Frasa benar-benar menyukai anakku." Cermin retak menyemburat di sepasang mata bulat Bunda.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang