Selama beberapa minggu selepas pertandingan antara Dirga dan Alinea, gadis itu menjadi perbincangan seantero SMA. Beberapa kali pula, tim ekskul Bulu Tangkis meminta kesediaan Alinea untuk bergabung. Namun, gadis itu menolak.
Dia memang suka bermain bulu tangkis, tetapi tidak bisa bertahan lama. Jika bergabung dengan ekskul Bulu Tangkis, jelas Alinea harus siap mengikuti prosedur latihan yang tentu tidak mudah dan singkat. Belum lagi jika ada turnamen. Dia bisa 'terpenjara' satu minggu full yang justru memforsir kekuatan fisiknya. Itulah mengapa Alinea menggantung raket lebih cepat; mau tak mau harus keluar dari klub terdahulu. Sesuatu yang pernah terjadi pada masa lalu telah mengubah ketahanan fisik gadis itu. Menjadi lebih rapuh dari manusia normal lainnya.
"Lin payah ya, Bun?" Gadis itu menatap nelangsa tas raket yang akan kembali disimpan dalam gudang.
Ayah, Bunda, dan seluruh orang rumah mengetahui tragedi setelah pertandingan. Frasa yang mengantar Alinea pulanglah yang menceritakan kondisi putri mereka.
Bunda mengusap pelan bahu putri tengahnya. "Mau bagaimana lagi? Ketahanan fisik Alinea belum pulih sepenuhnya."
Alinea melirik ke arah lengan. Dua lengan yang kali ini tidak dilindungi pakaian panjang. Jika di rumah, sesekali Alinea berani memakai kaos atau blus berlengan pendek. Toh, hanya ada mereka. Sudah tidak akan aneh melihat kedua lengan Alinea yang dipenuhi garis-garis bekas luka.
"Sama dengan yang ini. Belum pulih juga. He he he." Alinea menatap sang bunda.
Bunda mengusap sebelah lengan Alinea. "Tanda-tanda ini jadi pengingat buat Alinea biar enggak melakukan hal yang sama, ya. Inget gimana Ayah, Bunda, Mbak Sastra, dan Aksara yang bantuin Lin untuk menyembuhkan segalanya."
Alinea mengangguk. "Lin bakalan kangen main bulu tangkis."
"Sesekali main enggak apa-apa. Asal jangan kecapekan kayak kemarin. Lagian, kok ya gampang banget tersulut emosi, sih?"
"Dirga tuh ngeselin, Bunda. Enak aja bilang kaum cewek cuma bisa manja dan nangis. Sorry to say, ya. Enggak berlaku buat Alinea."
"Besok-besok kalau ngajuin tantangan, dipikir-pikir lagi. Cari yang enggak perlu panas-panasan apalagi bikin capek." Bunda menowel hidung putrinya yang tak seberapa bangir.
"Tantangan masak?" Alinea menyengir. "Wah, kalau itu sih Alinea bisa dipastikan kalah."
"Kalau itu, janganlah! Bisa-bisa dapurnya yang hancur."
Mereka terkekeh.
Selesai Alinea mengembalikan tas raket ke gudang, dia membantu Bunda menyiapkan makan malam. Biasanya sih Sastra. Sayangnya, sore itu, anak sulung Bunda sedang diberi tugas menjemput Si Bungsu dari tempat les. Jadilah di rumah hanya ada Bunda dan Alinea.
Ayah? Beliau masih di kampus. Baru pulang setelah Magrib.
***
Alinea terkantuk-kantuk menunggu angkutan desa di halte. Hujan yang mengguyur sejak subuh masih belum berhenti. Udara dingin semakin menggigit. Ingin rasanya Alinea membolos dan kembali ke rumah, tetapi tentu tak mungkin dilakukan. Ayah dan Bunda bisa mengomel tujuh hari tujuh malam jika tahu putri tengahnya sengaja tak masuk sekolah. Belum lagi, uang bulanan yang terancam dipotong. Hidup menjadi anak Ayah dan Bunda tak bisa main-main kalau berurusan dengan pendidikan.
"Oi, Cewek Nyebelin!"
Alinea tergeragap mendengar seruan seseorang. Mata ngantuknya menyipit ke seorang cowok berkepala cepak di atas motor matic di luar halte. Seperti pernah lihat. Di mana, ya?
"Siapa, ya?" Bergurau saja. Alinea tentu tahu siapa makhluk yang selalu memasang wajah menyebalkan. Apa katanya? Cewek Nyebelin? Siapa yang dia labeli sebagai Cewek Nyebelin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Lãng mạn"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...