Frasa Ketiga Puluh Satu

62 12 2
                                    

Frasa tak henti-henti menatap kalender yang tergantung di dinding ruang makan. Satu jarinya sibuk mengetuk-ngetuk angka di deretan minggu pertama bulan Maret. Kurang dari satu minggu lagi, ulang tahun Alinea tiba. Sialnya, Frasa belum kepikiran ingin memberikan apa kepada gadis itu. Satu hal yang mungkin akan dipilihnya adalah komik, tetapi judul yang mana? Frasa perlu mencari tahu, tetapi jangan sampai Alinea curiga kalau dia sedang mengulik soal hadiah untuknya.

"Kasihanlah, Mas. Itu kalender malu-malu nanti karena kelamaan Mas Frasa pelototin." Narasi terkikik saat membawa keluar lauk makan malam mereka.

Sebelum Frasa menyahuti ocehan adiknya, Ibu lebih dulu menambahkan godaan. "Kamu lagi hitung periodemu, Sa? Buat apa ngitung masa subur? Nikah juga belum."

Sontak Narasi terpingkal. "Mana bisalah Mas Frasa punya periode. Kalau istrinya nanti, baru ada."

"Ngawur semua." Frasa bergabung dengan Narasi di meja makan. "Mas itu lagi mikirin hadiah buat Mbak Alinea."

"Hadiah?" Ibu bergabung setelah meletakkan piring untuk masing-masing. "Alinea ulang tahun? Kapan?"

"Tanggal 7 Maret."

"Wah, dia anak Maret ternyata."

"Kami beda satu tahun. Ya, enggak persis satu tahun, sih."

"Yang keenam belas?"

Frasa mengangguk.

"Kasih kejutan aja, Mas. Dateng malem-malem ke rumah Mbak Alin. Pas tengah malem."

Frasa tak jadi menyendokkan makanan ke mulut. Tatapannya mengarah kepada Narasi yang duduk berseberangan. Remaja perempuan itu menyeringai. Merasa bahwa idenya telah mengeluarkan Frasa dari kegelisahan.

"Sepertinya boleh juga, tapi Mas Frasa harus izin sama Ayah dan Bunda. Seenggaknya, mereka tahu kalau Mas Frasa yang ke sana tengah malam. Kalau datang dadakan, bisa disangka rampok kan gawat."

Ibu tertawa. "Mau nomor Bunda? Ibu punya. Nanti Frasa hubungi sendiri."

"Habis makan aja kirim nomornya, Bu."

"Terserah kamu aja."

Mereka melanjutkan makan malam diselingi obrolan. Lebih banyak Narasi yang bercerita tentang kehidupan sekolahnya. Teman-teman yang mulai mencie-ciekan dirinya dengan seorang teman cowok. Ibu sedikit memaklumi gelombang kehidupan anak-anak menjelang remaja macam Narasi. Cinta monyet mulai mewabah di kalangan mereka.

"Suka boleh saja, tapi enggak untuk pacaran. Ibu melarang Narasi pacaran apalagi masih SD. Sekolah dulu dikelarin. Mas Frasa yang SMA aja belum punya pacar." Ibu melirik sebagai sindiran halus.

"Ya, enggaklah, Bu. Lagian, enggak ada anak cowok di kelas Narasi yang Narasi suka, kok."

"Berarti, di luar kelas Narasi, Narasi punya cowok yang disuka?" Ibu kembali menggoda anak bungsunya.

"Ya, enggak juga." Wajah remaja perempuan itu bersemu. "Apalah Ibu, nih. Kok, tiba-tiba mojokin Nara? Nara masih kecillah, Bu. Enggak bakalan pacar-pacaran." Bocah itu buru-buru menyuap porsi nasi yang tersisa.

"Pacaran memang enggak boleh. Mau Narasi masih kecil atau sebesar Mas Frasa. Tugas kalian untuk saat ini hanyalah menggapai pendidikan setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya. Kalau udah sekali ngalamin pacaran, kalian enggak akan lagi bisa fokus untuk belajar."

"Tapi kata temen Nara, pacaran bisa bikin semangat belajar." Narasi teringat percakapan dengan salah satu teman gadisnya yang mengaku naksir ke teman cowok mereka.

"Itu alibi untuk membenarkan yang salah. Enggak semua orang bisa mempertahankan nafsu, Narasi. Sehari dua hari okelah barangkali bisa bikin semangat belajar, tetapi setelahnya? Setelah terlena dengan dunia pacaran, otak mereka akan teracuni dengan: ah, abis sekolah enaknya ketemuan sama pacar. Yang bisa jadi terjerat bisikan setan terus melakukan hal-hal di luar kendali. Pacaran tetaplah bukan jalan terbaik untuk berprestasi. Makanya, kalian harus pintar-pintar mengolah perasaan, logika, juga iman." Ibu menatap satu per satu anaknya. "Lebih baik mencegah, menjauhi apa yang dilarang Tuhan daripada mengobati dampaknya yang terlanjur terjadi."

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang