Frasa Keempat

120 19 0
                                    

Baru memasuki Agustus, tetapi hujan telah bersemayam nyaman di desa mereka. Seminggu belakangan, sejak pagi sampai menjelang siang, sawah-sawah di depan gang perumahannya banjir air hujan. Cukup melegakan para petani karena kebutuhan irigasi mereka terpenuhi. Meski tetap harus was-was. Kelebihan air pun tidak bagus. Bisa menenggelamkan bibit-bibit yang baru ditanam. Buntung hasilnya.

Ketiga kakak beradik itu sedang sibuk menghitung uang bulanan yang diberikan Bunda. Sama-sama melebarkan senyum saat jumlahnya tak berkurang. Meski tidak juga berlebih. Pas. Ya, seperti juga uang bulanan bulan-bulan sebelumnya. Di kepala mereka sudah terlintas apa saja yang ingin dibeli.

"Ke toko buku yuk, Lin!" ajak Sastra setelah menengok jam dinding ruang keluarga.

Masih pukul setengah empat. Mereka juga sudah asaran. Waktu luang. Berhubung jatah bulanan sudah turun, enaknya langsung dipakai untuk membeli novel terbitan terbaru.

"Toko yang biasa?" Untuk urusan satu ini, Alinea satu server dengan sang kakak.

"Ke toko lain. Kemarin, Mbak diajak temen ke salah satu toko buku. Agak jauh dari sini, tapi lengkap. Semacam mini store Gramedia gitu."

"Koleksi komiknya lengkap juga enggak? Entar udah jauh-jauh ke sana malah enggak ada lagi. Sia-sia."

"Hei, jangan salah! Mbak kemarin sempet lihat ada komik Inuyasha juga. Bukannya kamu lagi cari?"

Alinea bergegas bangun dari sofa. "Ayo kalau gitu!"

"Ikut! Aksara ikut! Mau beli buku cerita juga."

"Dih, enggak muat motornya kalau bertiga." Alinea memprotes.

"Kan, bisa pakai satu motor lagi. Punya Ayah. Aksara sama Mbak. Kamu sendiri."

"Dih!" Alinea memberengut. Niatnya kan ingin bonceng saja. Malah disuruh menyetir sendiri. Huf! Ganggu saja si Aksara. "Kan, aku maunya bonceng sama Mbak Sastra."

"Halah manja! Nyetir sendiri kan bisa." Sastra melambaikan tangan ke udara.

"Mau pada ke mana?" Bunda melongok dari pintu penghubung antara ruang keluarga dengan dapur. Sejak tadi, beliau sibuk membuat sesuatu sebagai teman ngeteh sore.

Ayah dan Bunda memang punya jam mengajar yang sedikit sama. Untuk hari ini, mereka pulang bersamaan. Tepat pukul setengah tiga sore tadi. Setelah asaran dan memberi tiga amplop untuk ketiga buah hati, Bunda masuk dapur. Beberapa hari lalu, ada tetangga yang panen pisang dan ubi. Mereka kebagian jatah. Satu plastik pisang kepok dan ubi manalagi. Ayah sudah me-request dibuatkan gorengan.

"Beli buku baru, Bun." Sastra yang menjawab.

"Buku-buku kemarin selesai dibaca semua?"

Ketiga buah hatinya meringis bersamaan. Bunda hanya mengangkat bahu, kembali ke dapur; menyimpan senyum simpul. Meski dari segi karakter ketiga anaknya berbeda, untuk urusan hobi, mereka memiliki kesamaan. Buku.

Ayah dan Bunda memiliki kesamaan visi dan misi terkait pengasuhan. Sebisa mungkin, anak-anak mereka harus dekat dengan buku. Sejak masih balita, dari mulai Sastra sampai Aksara, Ayah dan Bunda tak pernah lupa membelikan mereka buku. Meski setelah beranjak semakin besar, minat mereka terhadap buku sedikit bergeser. Masing-masing anak mulai menyukai lebih spesifik buku macam apa yang harus memenuhi rak koleksi.

Sastra yang lebih menyukai novel. Tidak terpaku dengan genre. Gadis yang dua bulan lagi akan berusia sembilan belas tahun itu bisa membaca apa pun selama masih novel. Thriller, action, komedi, romansa, teenlite, dan beragam genre lainnya berderet menyesaki rak buku di kamar.

Alinea lebih menyukai komik. Membaca buku didukung pengadaan ilustrasi masing-masing karakter membuat apa yang masuk ke otaknya jauh lebih hidup. Gadis itu pun bisa membaca komik beragam genre. Conan, Naruto, One Piece, Fairy Tail, Bleach, dan masih banyak serial lainnya. Berderet memenuhi rak buku pribadi yang disediakan Ayah untuk masing-masing kamar anak.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang