Alinea keduluan. Cowok berkepala cepak sudah duduk nyaman di bangku halte saat Alinea tiba. Sebuah gitar disandarkan ke salah satu tiang halte. Andai ada tempat lain yang senyaman halte itu untuk dijadikan ruang penantian datangnya angdes, tidak akan segan Alinea beralih haluan. Sialnya, yang terdekat dari sekolah dengan kondisi senyaman itu hanyalah bangunan halte di antara dua sekolah, SMA dan SMK, yang justru membuat mereka sering bertemu.
Tidak merasa perlu menyapa, Alinea mengempas duduk di samping bocah laki-laki berkepala cepak. Agaknya, rambut amat sulit tumbuh di sana. Sejak pertama kali mereka saling kenal, belum pernah Alinea melihat kepalanya gondrong. Boro-boro gondrong, bertumbuh sekian milimeter pun tak sampai.
Angin bertiup cukup kencang setelah beberapa detik Alinea duduk. Mengibarkan helai-helai rambut yang dikucir kuda. Setia menggunakan pita berwarna tosca. Mengikat manis menjadi satu bundel menjulur sepunggung.
"Aku bawa sesuatu untuk kamu, Lin."
Alinea hanya melirik saat cowok itu sibuk mengeluarkan sesuatu dari saku celana. Selebaran berwarna dasar kuning dengan teks pemberitahuan di dalam kotak-kotak dialog.
"Tara!" Dengan bangga, dia menunjukkan ke hadapan wajah Alinea.
Teksnya yang besar-besar langsung bisa dibaca oleh gadis di sampingnya.
"Turnamen bulu tangkis?"
Dirga mengangguk antusias. "Selebarannya enggak sampai ke sekolahmu memang?"
Alinea terdiam. Sedang mengingat-ingat apakah dia melihat selebaran serupa di sekolahnya atau tidak. "Mungkin sampai, tapi aku enggak lihat. Enggak cek mading, sih."
Mading sekolahnya adalah area up to date untuk beragam hal, termasuk informasi terbaru terkait hal-hal berbau lomba atau turnamen, baik yang akademik maupun nonakademik. Sayangnya, Alinea bukanlah siswi yang haus akan info-info demikian. Padahal, setiap datang atau pulang, dia selalu melintas di depannya. Dasar saja Alinea malas mencari tahu.
"Makanya cek, dong. Punya mading tuh fungsinya biar orang-orang kayak kamu enggak ketinggalan berita."
Alinea mendecih. Siapa dia yang mengomentari gaya bersekolahnya? Mau cek mading atau tidak, memang urusan dia?
Satu angdes kuning jurusan ke arah rumah Alinea lewat. Berhenti tepat di depan halte seolah-olah tahu bahwa Alinea akan naik. Gadis itu memang hendak beranjak, tetapi Dirga mencekal pergelangan tangan kanannya.
"Apaan? Aku mau pulang, nih."
"Nanti aja. Aku yang antar. Kamu di sini dulu. Kita diskusikan ini dulu." Dirga mengibar-ngibarkan selebaran turnamen. "Enggak jadi naik, Mang. Dia ikut saya pulangnya." Sebagai sopan santun, Dirga mengangkat sebelah tangan, mengangguk singkat, senyum pun dia lebarkan agar mamang angkot mengerti tindakannya.
Tidak banyak berdebat, angdes kuning itu kembali melaju.
"Hei! Kamu apa-apaan, sih? Tuh, 'kan? Angdesnya malah pergi. Kan, aku mau pulang, Dirga."
"Entar aku yang anter. Kamu duduk dulu di sini."
Meski sedikit sebal, Alinea kembali duduk. Memangnya penting amat selebaran turnamen itu?
"Mau ikut enggak?" Dirga menyodorkan kembali selebaran di tangannya.
"Enggak."
"Kamu bahkan enggak pake mikir buat nolak, Lin?" Sungguh sangat Alinea yang tidak pelintat-pelintut dalam memutuskan perkara.
"Aku enggak tertarik buat ikutan." Alinea duduk bersila, menyelipkan kedua tangan di saku hoodie, lantas mengembus-embus poni. Membunuh bosan.
"Lah? Macam mana enggak tertarik, sih? Kamu kan jago main bultang." Tuhan, keanehan apa lagi yang dimiliki makhluk menggemaskan satu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Romance"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...