Frasa Keempat Puluh Lima

69 12 0
                                    

Sembari menunggu kemunculan pria itu, Ibu kembali mengecek segala dokumen yang telah terkumpul beberapa minggu belakangan. Usai mempelajari baik-baik apa yang telah ditemukan, beliau memutuskan untuk langsung menanyai pihak terkait. Untuk sementara, segala bukti yang ditemukan di rumah sakit belum Ibu laporkan kepada Frasa dan yang lain mengingat bagaimana sibuknya mereka dengan tugas-tugas sekolah akhir-akhir itu. Ibu merasa itulah waktu yang tepat baginya mengurusi permasalahan yang sebetulnya bersumber dari beliau.

Sepuluh menit menunggu, wajah tampan lelaki pertengahan empat puluhan tahun itu muncul. Mengulas senyum tipis. Merasa bahagia karena tak biasanya perempuan itu menghubungi dan mengajak bertemu lebih dulu.

"Tumben meminta bertemu, Vit. Apakah ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" Lelaki itu duduk berseberangan dengan perempuan yang menunggu lebih dulu. Terpisah meja bulat dengan vas bunga berisi sirih gading hidup.

"Ya, saya memang memiliki kepentingan dengan Mas Abi." Meski amarah menggumul di dalam dada, Ibu berusaha menahan untuk tidak segera menyemburkannya.

"Kamu belum memesan apa pun? Mau saya pesankan sesuatu?"

"Tidak perlu, Mas. Saya ke sini bukan untuk menikmati waktu luang dengan mengopi atau ngeteh." Ibu mengeluarkan amplop cokelat dari dalam hand bag yang tersimpan di kursi sebelah kanan; menyerahkan ke hadapan lelaki itu.

"Apa ini?"

"Buka saja. Tentu Mas Abi tahu itu apa."

Dengan tetap memasang ekspresi setenang mungkin, Arbitara membuka dan melongok ke dalam amplop. Untuk beberapa saat, lelaki itu terenyak. Beberapa lembar foto di dalamnya tentu sangat dia kenali. Foto-foto yang tidak akan ditemukan di mana pun karena terpotret diam-diam; tersembunyi dari si pemilik wajah.

"Dari mana kamu mendapatkan foto-foto ini? Apa ada yang mengirimkannya?"

"Tidak. Saya mengambilnya sendiri dari komputer Mas Abi."

"Kamu nge-hack komputer saya?"

"Tidak." Ibu tersenyum culas. "Saya aktifkan sendiri komputer Dokter Arbitara langsung di ruangannya."

"Kapan?"

"Kapan adalah hal paling tidak penting untuk Anda tanyakan, Dokter." Pilihan kosakata Ibu menandakan bahwa beliau benar-benar serius dengan perbincangan mereka pada siang menjelang sore hari itu.

"Kamu melakukan hal yang tidak sopan, Vita. Saya bisa laporkan kamu karena menyentuh aset pribadi di ruang kerja saya." Ada amarah yang menggelegak di mata lelaki itu.

"Melaporkan ke pihak mana? Polisi? Rumah sakit? Yang artinya, Anda bersiap kehilangan kewenangan sebagai dokter."

"Tidak akan."

"Tentu saja." Ibu menyandar ke bahu kursi. "Anda melakukan tindakan tidak senonoh dengan menyimpan foto-foto perempuan yang sudah bersuami, bahkan memiliki dua anak."

"Kamu sudah tidak bersuami sekarang." Arbitara tersenyum licik.

"Sebagian foto yang Anda ambil bertanggalkan saat di mana saya masih menjadi istri Jiananta Bahari."

Mereka terdiam. Meja mereka lengang selama beberapa saat. Setenang mungkin Ibu menghadapi lelaki di seberang sana. Berusaha tidak terbakar amarah padahal dadanya sudah ingin meledak. Api kebencian telah menanti untuk disemburkan. Setelah apa yang dilakukan seniornya, Ibu merasa jijik. Jijik dengan tingkah seorang pria dewasa yang menurutnya sudah tidak normal.

"Kamu akan menyebarkan bukti-bukti itu? Ke rumah sakit? Polisi?"

"Saya tidak akan melakukannya jika Anda mengakui tindak plagiarisme yang selama ini disalahpahami banyak orang. Yang melakukan plagiarisme bukanlah Jiananta Bahari, tetapi Anda. Silakan menjalani prosesnya sesuai undang-undang yang berlaku terkait tindakan plagiarisme."

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang