Gadis bermata bulat itu masih betah menunggu di halte padahal berkali-kali angkutan desa ke arah rumahnya telah lewat. Tubuhnya di sana, tetapi jiwa gadis itu melayang ke memori beberapa hari lalu.
"Lin, kamu tuh emang enggak bisa enggak ngurusin masalah orang, ya?"
Bukan pada kalimatnya yang membuat Alinea bergidik ngeri, melainkan mimik dan tatapan Frasa. Semacam menyiratkan kemarahan, tersinggung, barangkali juga kecewa.
"Aku cuma mau bantu karena aku ngerasa kasus ini terlalu janggal."
"Enggak perlu. Itu urusan keluarga kami. Kamu enggak perlu ikut campur. Kamu enggak tahu apa-apa."
"Justru karena aku belum tahu banyak makanya aku ajak kamu bicara. Kami masih kekurangan beberapa bah--"
"Berhenti mengurusi urusan orang, Lin. Kamu bisa terjebak masalah karena kesokingintahuanmu itu."
Alinea menghela napas panjang. Sejak malam itu, Frasa semakin dingin. Lebih banyak diam saat di kelas. Tidak lagi menyapa atau mengajaknya ke perpus. Boro-boro mau mengobrol, melirik pun tidak. Sudah berminggu-minggu sampai Alinea frustrasi harus bersikap bagaimana kepadanya.
"Yo, Ayang! Kok, sendirian aja?"
Sebelah alis Alinea terangkat saat tahu siapa yang menghampiri halte. Makhluk jangkung nan kekar berwajah manis dan menyebalkan dengan kepala yang masih saja cepak saat topi sekolah--yang mirip topi-topi pelaut--dia lepas.
"Ayang matamu!" Dia berharap sorenya berjalan dengan mulus, tetapi kemunculan makhluk itu justru memancing emosi yang sekian lama telah diendapkan.
"Enggak kangen aku, nih? Udah lama enggak ketemu kan kita, Beib?" Dia menaikturunkan alis. Sengaja menggoda. Tidak peduli bahwa tatapan gadis di sampingnya bisa saja mengeluarkan puluhan pisau bedah. Siap mencabik-cabik makhluk yang selalu tahu kapan harus muncul dan merusak suasana.
"Menjijikkan sekali pertanyaanmu."
Cowok itu sudah lebih dari tangguh untuk mendengar omelan gadis berpita tosca yang selama ini dikejarnya. Padahal sudah ditolak berkali-kali, tetapi rupanya mundur bukanlah hal yang bisa dia lakukan segera.
"Putek banget mukamu. Mikirin apa?"
Alinea tak langsung menjawab. Dia sedang menimbang apakah harus menceritakan kondisi mereka--Alinea dan Frasa, maksudnya--atau memendam sendirian seperti yang sudah dia lakukan belasan bulan belakangan.
"Aku tebak. Kamu lagi ada masalah. Hm ... sama Frasa?"
Alinea terpaksa menoleh; menatap bengis Dirga yang tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana mungkin kepala bodoh itu bisa menebak sedemikian tepat?
"Kamu sadar enggak, Lin? Setiap kamu punya masalah sama Frasa, kamu bakalan berwajah seperti itu. Kayak marah, tapi juga kehilangan. Bakalan betah banget duduk berjam-jam di halte sampai-sampai mengabaikan angdes jurusan rumahmu. Aku udah merhatiin kamu dari lima belas menit lalu. Dua angdes kamu biarin pergi gitu aja. Padahal kalau kondisi normal, kamu rela berjubel-jubelan asal bisa langsung balik biar enggak perlu aku paksa buat ikut aku."
Alinea tercengang. Sedemikian detail seorang Dirga menaruh perhatian kepadanya?
"Benar, 'kan?"
"Apa?" Alinea memasukkan kedua tangan ke saku hoodie. Berusaha menghindar dari desakan Dirga.
"Frasa penyebab ke-putek-an wajahmu."
Lebih dulu gadis itu menarik napas dalam-dalam, menahannya selama dua detik, lalu mengembuskan perlahan. "Sudah beberapa minggu belakangan, aku dan Frasa perang dingin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Roman d'amour"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...