"Sebagai tugas akhir semester ganjil untuk kelas XI, kalian akan bekerja secara kelompok. Per kelompok hanya terdiri dari dua orang yang sama artinya dengan satu meja. Kalian bebas membuat apa pun, tetapi temanya tetap seni kriya. Karya kalian harus memiliki nilai guna selain nilai ekonomis. Jika beruntung, kalian bisa menjualnya dalam pameran kelas nanti, seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahan dan alat terserah kalian. Usahakan yang meminimalkan pengeluaran. Jadi, selain berdaya guna, ekonomi, juga mendaur ulang barang-barang bekas di sekitar kalian. Bisa dipahami tugasnya?"
"Bisa, Pak."
"Oke. Silakan kalian diskusikan ingin buat apa lalu obrolkan dengan saya rancangan kasar dari karya yang akan kalian buat."
Penjelasan Pak Marsudi justru membuat Alinea melilit. Akan sangat menyenangkan jika tugasnya dikerjakan sendirian. Ya, tugas berkelompok pun tidak akan jadi masalah jika saja teman semejanya bukan Frasa. Makhluk yang sedang berlaku tidak baik-baik saja.
Hampir berakhir semester ganjil di kelas XI, tetapi kebekuan di antara mereka masih berkuasa. Selama saling diam, keduanya berusaha untuk tidak satu kelompok belajar jika memang bisa diusahakan. Namun untuk yang satu itu, tidak ada lagi jalan untuk kabur. Mau tidak mau, suka tidak suka, mereka memang harus satu kelompok.
Sementara yang lain mulai berdiskusi, kedua bocah penghuni meja pojok belakang masih saling diam. Yang rusuh lirik sana-sini adalah dua gadis penghuni meja di depannya. Gemas sekaligus takjub karena kebekuan kali itu berjalan lebih lama dari sebelumnya.
"Lama-lama, aku yang frustrasi lihat tingkah kedua bocah itu, Pus." Lika mendekatkan kepala demi berbisik kepada Puspita.
"Entah apa yang terjadi selama tugas ini berlangsung. Lihat saja! Yang lain sibuk diskusi mau buat apa, mereka malah diem-diem bae."
Lika memutuskan menoleh. "Kalian mau buat apa?"
"Belum tahu." Kompak kedua bocah itu menjawab.
"Kalau belum tahu ya dibahaslah. Jangan cuma diem-dieman." Puspita pun tak sabar. Ikut menoleh.
"Nanti aja." Kembali keduanya menjawab bersamaan.
Kali itu, mereka saling menoleh. Lika dan Puspita justru menahan tawa.
"Enggak usah ikut-ikutan bisa, 'kan?" Wajah jutek Alinea langsung menyapa.
"Loh, kamu yang ikut-ikutan." Frasa tersinggung karena tuduhan tak berdasar teman semejanya.
"Aih, aih! Enggak usah ribut kali. Enggak ada yang siapa ngikutin siapa. Kalian ngejawabnya bareng. Satu suara." Lika berusaha menengahi. Jika didiamkan, bisa-bisa kotak pulpen di atas meja melayang ke cowok berwajah dingin di depannya.
"Kuingatkan aja sih ke kalian. Waktu pengerjaan tugasnya enggak lebih dari dua bulan. Kalau kalian bikin karya yang ribet, kalian udah harus ngekonsep dari sekarang biar enggak keteteran." Bolak-balik Puspita menatapi pasangan semeja yang sedang perang dingin.
"Ya, makasih sudah diingatkan, Mbak Puspita yang cantik dan manis." Alinea mengibas-ngibaskan tangan, memberi perintah agar gadis itu tak perlu lagi repot-repot mengurusi mereka.
Satu jam pelajaran berlalu. Tinggal kelompok Alinea yang belum mendatangi meja Pak Marsudi.
"Alinea dan Frasa enggak mau diskusi dengan Bapak?"
Sebagian tatapan ikut menoleh ke pojok kelas.
"Belum ada ide, Pak." Frasa yang mewakili untuk menyahuti pertanyaan Pak Marsudi.
"Ya, sudah. Mikirnya jangan lama-lama biar bisa segera eksekusi."
"Baik, Pak." Masih Frasa yang menyahut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
عاطفية"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...