Frasa Kedua Puluh Sembilan

67 10 0
                                    

Hari itu datang. Pagelaran Seni Budaya Kelas X Semester Ganjil. Acara akan berlangsung di auditorium sekolah dengan penonton yang bukan cuma dari kalangan murid setempat. Pihak penyelenggara, guru dan OSIS, sepakat untuk mengundang wali murid untuk ikut mengapresiasi setiap kelompok yang tampil. Selain untuk wali, pagelaran pun terbuka untuk umum. Siapa pun yang ingin menikmati beragam rangkaian acara, dipersilakan masuk ke kawasan SMA. Aldara dan Dirga sudah mengabari Alinea bahwa mereka akan datang. Selain memberi dukungan, mereka pun ingin melihat-lihat stan bazar milik kelas XI dan XII.

Kelas Alinea akan tampil paling akhir. Sembari menunggu, gadis itu sibuk melihat-lihat stan bazar bersama kawan kelompoknya, plus Aldara dan Dirga yang ternyata datang lebih pagi dari yang dibayangkan Alinea. Dua murid dengan seragam paling asing yang datang pertama kali.

"Aku enggak sangka Alinea beneran deket sama Dirga." Sambil menggigiti pipet minuman, Lika menatap bolak-balik Dirga dan Alinea.

"Kamu ketinggalan info, Lik." Puspita malah menyenggol lengan teman semejanya.

Mereka memutuskan berkumpul di kantin, menyabotase satu set meja dengan enam kursi, lantas menikmati kudapan-kudapan ringan sembari menunggu giliran tampil.

"Info apa, nih?" Alinea menatap curiga ke arah Puspita.

"Setiap Alinea pulang sekolah, Dirga yang nganter. Betul, 'kan?" Cengiran lebar Puspita layaknya bocah yang berhasil menjawab pertanyaan paling sulit dalam kuis tebak-tebakan berhadiah.

"Kok, kamu tahu?" Dirga pura-pura kaget.

"Aku punya temen rumah yang sekolah di SMK sebelah. Kalian kan terkenal sejak adu bulu tangkis beberapa bulan lalu."

"Gimana menurut kalian? Aku cocok sama Alinea, 'kan?" Dirga menaikturunkan alis.

Alinea tak berselera menanggapi candaan cowok yang duduk di seberangnya. Sibuk menghabiskan tempe goreng sekaligus mengingat-ingat dialog drama yang akan mereka tampilkan tidak lama lagi.

Puspita justru memandang Lika. Teman semejanya malah cengengesan. Tidak mau ikut-ikut.

"Hm ... gimana, ya? Kalau dibilang cocok atau enggak, sebenarnya cocok-cocok aja, tapi jujur, ya. Ada yang lebih cocok jadi pacar Alinea ketimbang kamu, Dir."

"Siapa?" Dirga sok ingin tahu, meski dalam hati sudah menduga siapa pemilik nama yang berkemungkinan menyukai Alinea.

"Coba tanya Aldara juga, dong. Di sini kayanya yang paling netral dia, deh. Kalau aku yang jawab, bisa-bisa enggak obyektif." Pintar sekali Puspita menghindar dari tuntutan.

"Loh? Kok, aku? Yang ditanya kan kamu, Pus."

Puspita dan Lika sama-sama nyengir.

Aldara merapatkan punggung ke bahu kursi. Memindai beberapa wajah. Berlagak menimbang siapa yang cocok dengan siapa berdasarkan ... entah juga berdasarkan apa. Gadis itu kan cuma pura-pura menilai. Tatapannya lantas bertemu dengan badge nama milik Alinea dan Frasa.

"Alinea lebih cocok sama Frasa." Aldara menyedot sisa es cokelat. "Nama mereka aja sama-sama unik. Pertanda sejak lahir, tuh."

"Aku kayaknya enggak punya kesempatan kalau bersaing dengan Frasa." Dirga melirik Alinea.

Gadis itu masih sama masa bodohnya dengan beberapa saat lalu. Beruntung, sebelum obrolan bergerak lebih liar, terdengar panggilan untuk kelas Alinea tampil. Alinea yang pertama kali bangkit. Bersorak dalam hati bahwa Tuhan sangat berpihak kepadanya.

Berbondong-bondong mereka mendatangi auditorium. Tampak Ayah, Bunda, juga Ibu di deretan kursi khusus wali murid. Andai saja Sastra sedang tidak ada kuliah, sudah pasti gadis itu ikut menonton sepak terjang sang adik dalam dunia peran.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang