Frasa Ketiga Puluh Enam

61 11 0
                                    

Alinea berjalan gontai menuju Mading untuk mengecek di kelas mana dia akan menghabiskan sisa masa SMA. Sisa peluh membekasi kemeja putih bagian punggung karena pagi tadi, untuk kesekian kali, gadis itu harus berpuas diri hormat kepada Sang Saka Merah Putih sendirian di lapangan basket luar. Sesekali ditertawai oleh ibu-ibu yang melintas dengan membawa belanjaan. Mungkin baru pulang dari pasar.

Koridor tak begitu sepi. Beberapa murid berkeliaran, di antaranya memenuhi koperasi siswa. Entah untuk jajan kudapan atau membeli perlengkapan menulis. Sedikit beruntung karena hari pertama masuk sebagai siswi kelas XI tidak langsung menghadapi kegiatan belajar dan mengajar. Bahkan mungkin beberapa guru masih sibuk dengan kegiatan MOS.

Kerutan di dahinya muncul begitu mendapati nama Frasa mengekori namanya di kelas yang sama: XI IPA 1. Belum cukupkah Tuhan membuat mereka dalam satu kelas selama satu tahun kemarin? Ya, kalau kondisinya tak berubah aneh seperti beberapa bulan belakangan sih, tidak masalah satu kelas lagi dengan Frasa. Namun, semenjak Frasa terang-terangan mengatakan kelegaan karena tidak memiliki saingan dalam mendekati Alinea, mendadak hubungan mereka sedikit berubah.

Alinea saja sih yang berubah. Merasa sering canggung jika hanya berdua dengan Frasa. Sementara cowok itu tidak sama sekali. Bersikap normal selayaknya hari-hari pada pertemuan awal mereka. Masih lebih sering cuek. Masih lebih sering diam. Masih lebih sering menghabiskan istirahat dengan membaca buku, entah cuma di kelas atau minggat ke perpustakaan.

"Ya, apa boleh buat. Seenggaknya, Lika dan Puspita pun di kelas yang sama. Meski jarang bareng, mereka tetap bisa menyelamatkanku agar enggak selalu berduaan dengan Frasa. Bikin kelompok tugas pun bakalan lebih nyaman." Alinea mengangkat bahu lantas melanjutkan langkah. Berbelok ke koridor bagian kanan sebelum menuju koperasi siswa. Di sanalah deretan kelas XI berada.

Gadis itu tak langsung masuk. Menghentikan langkah di depan jendela paling akhir--jika dihitung dari pintu masuk kelas. Memindai lebih dulu bangku mana yang masih kosong. Meski jika ingin berharap, kalau bisa, jangan sampai kondisi saat kelas X terulang. Tak apalah dia duduk di barisan belakang, meja pojok kanan atau kiri, asalkan tidak dengan ... sial!

Alinea menarik napas dalam-dalam demi menahan kesal saat tahu bangku mana yang tersisa. Satu-satunya bangku di kelas itu yang belum berpenghuni. Di sampingnya telah duduk seorang cowok dengan dunianya. Tidak peduli seramai apa perkenalan dalam kelas, dia tak terusik untuk bergabung. Duduk nyaman memegang sebuah novel dengan sampul dominan hijau berelemen perahu kertas. Ya, sesuai judulnya. Novel yang dibaca cowok itu memang Perahu Kertas. Salah satu best seller dari tangan hebat Dee Lestari.

"Kenapa hidupku selalu berdampingan dengannya, sih? Enggak cukup satu meja selama satu tahun, sekarang ditambahi lagi menjadi tiga tahun penuh. Tuhan tuh enggak tanggung-tanggung buat nguji ketangguhan hati makhluknya dalam menghadapi pesona sosok yang enggak seharusnya memesonakan."

Setelah mendengkus demi membuang sebal, gadis itu kembali melangkah. Berusaha memasang ekspresi seriang mungkin saat menghampiri bangku yang memang telah ditakdirkan menjadi miliknya. Lika dan Puspita berada dalam satu baris dengan mereka. Tepat di depan meja pasangan itu.

"Hai, Lin. Enggak ubah-ubah ya kebiasaanmu?" Lika menyapa.

"Namanya juga kebiasaan. Kalau berubah, ya, bukan kebiasaan, dong."

"Bener juga."

"Dan kalian satu meja lagi?" Alinea memicingkan sebelah alis. Pura-pura memasang wajah tersinggung karena Lika atau Puspita sama sekali tak berpikir untuk menjadikannya teman semeja.

Puspita lebih dulu tertawa. "Andai aja yang sekelas denganku lagi cuma kamu, ya, aku akan ajak kamu untuk satu meja. Eh, taunya Lika juga sekelas. Ya, sudah. Aku duluan ajak dia."

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang