Frasa Kelima Puluh Dua

122 17 0
                                    

Satu tahun berlalu. Tiga ratus enam puluh lima hari berjalan melewati berbagai pertanyaan di benak pemuda itu. Tiga ratus enam puluh lima hari tanpa absen mengunjungi rumah dua lantai dengan rumah kucing bertuliskan Bubi dan Bibu di depannya. Menunggu berjam-jam. Membiarkan angin musim kemarau dan hujan silih berganti menemani. Sesekali diizinkan mengeluarkan Bubi dan Bibu kemudian mengajak mereka bermain. Pukul sembilan malam tepat, perempuan paruh baya akan keluar menemuinya; menggeleng dengan hati terenyuh.

"Alinea sehat kan, Bunda?" Pertanyaan yang telah berulang selama tiga ratus enam puluh lima kali--mungkin akan terus bertambah tergantung seberapa kuat pemuda itu menunggu kemunculan kawannya.

Bunda mengangguk. "Alhamdulillah, Alinea baik-baik saja, Frasa. Dia sehat."

"Frasa pamit kalau begitu, Bunda. Assalamu'alaikum." Dengan penuh santun, pemuda itu menyalami perempuan paruh baya yang masih terhitung sahabat karib ayah dan ibunya.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati menyetirnya, Sa." Usapan lembut bersarang di bahunya.

Anggukan selalu menjadi balasan seiring langkah gontai menghampiri kendaraan yang terparkir di depan pagar.

Bunda hanya bisa menghela napas melihat rumitnya situasi di antara mereka. Sama-sama keras kepala mempertahankan keputusan masing-masing. Sudah terlalu berlarut-larut dalam ketidakjelasan. Gadis itu, Gadis Boneka-nya, harus segera memutuskan apa yang dimau dari hubungan menyedihkan mereka.

Lepas mengantar kepergian Frasa untuk kesekian kali, Bunda mendatangi kamar anak tengahnya di lantai atas. Gadis itu terduduk menghadap cermin rias dengan sebuah buku teronggok di sebelah lengan. Novel bersampul manis. Karya perdana yang diterbitkan mantan kawan semejanya beberapa bulan lalu sebagai reward karena berhasil menjadi pemenang dalam kompetisi menulis nasional.

"Dia sudah pulang, Bunda?" Gadis itu menatap pantulan diri di cermin.

Rambut panjangnya telah menghilang. Satu tahun berlalu setelah proses operasi dan kemoterapi yang merontokkan seluruh rambutnya. Meski tak terlalu signifikan, setidaknya kepala gadis itu tak terlalu mengenaskan. Sudah tidak lagi botak. Rambutnya telah menjulur sedikit di atas bahu.

"Alin enggak kasihan sama Frasa? Setiap hari, tanpa pernah absen, enggak peduli hujan lebat sekalipun, setiap malam dia ke sini. Menunggu Alinea bicara dengannya. Menunggu Alinea menjelaskan apa yang enggak Frasa pahami." Bunda menyender di kosen pintu sembari menyilangkan kedua lengan.

"Alinea ... enggak bisa, Bunda."

"Membiarkan Frasa bertanya-tanya seumur hidupnya? Itu jahat, Alin. Kalau memang Alin ingin memutuskan hubungan dengan Frasa, katakan dengan terang-terangan. Bilang kalau Alin udah enggak bisa berteman dengan Frasa. Dengan begitu, Frasa akan tahu bahwa saatnya memang harus mundur."

Gadis itu menunduk. Melirik pada buku yang dia beli beberapa minggu lalu.

Bunda kembali menghela napas, geleng-geleng karena tidak mengerti jalan pikir Alinea. Tubuhnya beranjak dari ambang pintu. Membiarkan anak tengahnya untuk memikirkan baik-baik apa yang harus diputuskan.

Ya, Alinea harus segera memutuskan atau luka Frasa semakin dalam.

***

Alinea hafal dengan derum sepeda motor yang berhenti di depan rumahnya setiap pukul tujuh malam. Jendela kamar yang terbuka mengalirkan angin kencang. Hujan akan segera turun. Terkabar dari langit yang pekat kemerahan. Hujan kesekian yang akan menemani pemuda itu sampai Alinea mau menemuinya.

Seperti juga sebelum-sebelumnya saat Frasa datang, Bunda membukakan pintu walau Frasa selalu menolak untuk masuk. Biarlah dia menunggu di luar. Toh, sama saja. Di luar maupun di dalam belum mengubah keadaan bahwa Alinea akan menemuinya.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang