Jalanan di depan halte mulai sepi. Sesekali saja melintas pengendara sepeda motor dan angkot warna biru. Sambil duduk bersila, dirapatkan kembali jaket yang melindungi tubuh tak seberapa gemuk gadis itu. Untuk entah yang keberapa, tangannya kembali merogoh ponsel di saku jaket. Bukan sekadar mengecek waktu, melainkan balasan SMS dari seseorang yang tidak kunjung muncul.
Dia menghela napas. Menengok ke arah bungkusan kado dan kantong kresek hitam berisi bakso dengan topping bihun. Dirabanya sebentar kresek tersebut. Hangatnya telah menguap. Saat dicek, tampak ukuran mi dan bihun telah mengembang. Lemak dari kuahnya mulai menggumpal dan menempeli bungkusan plastik.
"Frasa ke mana, sih? Bilangnya enggak akan lupa, tapi sampai jam segini pun batang hidungnya belum nongol. Dia beneran enggak lupa, tapi sibuk atau memang bener-bener lupa?" Wajahnya menggelembung, mulai sebal, terlebih saat mengecek kotak masuk pesan. SMS-nya masih belum dibalas.
Menjelang pukul delapan malam. Suasana semakin sepi. Beruntung karena lampu-lampu jalan menyala dengan baik. Sekali waktu, pedagang nasi goreng gerobakan melintas. Menawari gadis di dalam halte, tetapi dia menggeleng sopan. Tidak berminat sama sekali untuk makan apa pun.
Kali berikutnya, pedagang cuanki yang berhenti tidak jauh dari halte. Ada beberapa bocah yang mungkin baru pulang dari masjid karena tampak berkopiah dan bersarung serta menenteng kitab-kitab yang biasa dipakai mengaji. Mereka berkerumun di sekitar gerobak cuanki. Ramai-ramai menyuarakan pesanan. Uap kuah yang mengepul terbawa sampai ke hidung gadis di dalam halte.
Wangi. Mengundang lapar, tetapi gadis itu tidak selera sama sekali untuk makan sesuatu. Dia masih menunggu seseorang. Menunggu yang entah sampai kapan karena ternyata nyaris tiga jam telah meleset dari waktu yang dijanjikan.
Sayangnya, dia tak bisa pulang. Selama apa pun menunggu, dia telah berjanji untuk tetap di sana sampai sosok itu muncul.
"Apa mungkin Frasa ketiduran?"
***
"Bantu Mas bawain kadonya, Nara."
Laju sepeda motor Frasa berhenti di depan pagar rumah mereka. Narasi turun lebih dulu lantas membawa plastik besar berisi kado pemberian Aldara, dirinya, Pak Yanuar, juga beberapa karyawan di toko buku. Tahun kesekian bagi Frasa menerima kado. Serasa masih seperti anak kecil, tetapi mana mungkin menolaki hadiah mereka. Jika ada rezeki datang kepadamu, jangan sekali-kali menolaknya. Terima sekecil apa pun yang diberikan. Begitu kata ayahnya dulu.
Narasi membuka pintu pagar lebih lebar agar Frasa bisa masuk lebih mudah. Karena sudah cukup malam, Frasa memutuskan langsung memasukkan kendaraan. Biasanya, sebelum pukul delapan, sepeda motor masih dibiarkan di luar. Siapa tahu masih dibutuhkan untuk ke manalah. Jadi, tidak perlu bolak-balik keluar masuk. Dibiarkan begitu saja si matic hitam di ruang tengah.
Karena sudah sama-sama kenyang, mereka tak berniat makan malam.
"Nara langsung ke kamar ya, Mas. Ngantuk." Remaja perempuan itu meletakkan kantong plastik berisi kado milik Frasa di salah satu sofa ruang keluarga.
"Jangan lupa gosok gigi, Nara. Tadi banyak makan makanan manis."
"Inggih, Mas." Nara berbelok lebih dulu ke kamar mandi, menyelesaikan titah Frasa, baru kemudian ke kamar.
Setelah menutup kembali pintu utama, Frasa membawa plastik berisi kado lantas masuk kamar. Ibunya belum pulang. Mungkin ada lembur. Bukan hal aneh untuk mereka. Sudah sering ditinggal hanya berdua.
Dirogohnya ponsel dari saku ransel lantas mengaktifkannya. Sepanjang di toko, Frasa memang terbiasa menonaktifkan ponsel agar tidak mengganggu waktu bekerja. Denting notifikasi langsung terdengar, beruntun, dari nomor yang dia namai Alinea Si Ceroboh. Satu pesan yang paling akhir masuk yang Frasa buka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Romance"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...