Frasa Kedua Puluh Satu

82 13 0
                                    

"Saya ... m-mau ke taman. Boleh?" Takut-takut lelaki itu meminta izin kepada wanita berseragam khas perawat di lembaga tersebut.

Meski lupa perihal nama, dia bisa mengingat bahwa wanita itu yang sering keluar dan masuk menyerahkan berbagai macam obat, makanan, dan minuman untuk dia konsumsi. Sesekali membawakan buku dan bolpoin yang dia minta.

"Boleh, Pak Jian. Sebentar." Wanita bernama Yuna itu melongok dari balik pintu kamar atas nama Jiananta Bahari. Berniat memanggil seorang gadis yang dua tahun belakangan menjadi sukarelawan di sana. "Aldara?"

Gadis itu baru keluar dari salah satu kamar. Selesai mengganti seprai dan sarung bantal. "Iya, Kak Yuna?"

"Bisa temani Pak Jian ke taman belakang? Saya masih harus kasih obat ke beberapa pasien. Kamu sudah selesai?"

"Sudah, Kak. Boleh. Nanti aku yang temani Pak Jian. Habis naruh ini ke ruang laundry, ya."

Yuna membalas dengan acungan jempol. Bergegas Aldara menuju ruang laundry di lantai dua. Setumpuk seprai dan sarung bantal sudah menunggu di dalam bak karet besar, meski bukan tugas gadis itu. Adalah seorang perempuan berusia empat puluhan tahun yang ditugasi mengurus bagian pencucian.

Selesai urusannya di ruang laundry, Aldara kembali mendatangi kamar Jiananta. Yuna sudah tak ada. Mungkin kembali berkeliling karena tugasnya lumayan menumpuk. Lelaki itu terduduk di pinggir ranjang. Masih dengan memegangi bolpoin dan buku.

"Kata Kak Yuna, Pak Jian mau ke taman. Benar?"

Lelaki itu mengangguk meski tatapan kosongnya terarah ke buku dalam pangkuan.

"Ayo! Aldara temani Pak Jian nyore di taman." Dengan lembut, Aldara meraih sebelah lengan Jiananta. Membawanya pelan-pelan mengikuti langkah, mengarah ke taman belakang.

Spot yang memang selama ini menjadi tempat Jiananta berdiam diri. Seolah terdapat magnet tak kasat mata di sana. Meski apa yang dia lakukan hanya berdiam diri. Sesekali saja mencoret sesuatu di buku.

Aldara mengambil duduk di salah satu bangku, tidak jauh dari bangku yang diduduki Jiananta, lantas mengambil buku kecil yang terselip di saku celana untuk menemaninya menghabiskan waktu. Sengaja memberi ruang untuk tidak mencampuri apa yang lelaki itu akan lakukan. Tugasnya hanya memperhatikan agar setiap pasien di lembaga tersebut tidak mengambil tindakan membahayakan. Dalam beberapa kesempatan, Aldara pernah menemukan pasien-pasien yang kembali mencoba bunuh diri atau menyakiti diri sendiri dengan benda tajam.

Andai saja lebih banyak perawat atau relawan, mungkin akan lebih banyak yang terbantu untuk mengusir kesepian mereka alih-alih kembali memikirkan untuk mengakhiri hidup.

***

Aroma empal gentong menyambut kedatangan Alinea dan Dirga. Tidak jauh dari gedung lembaga penanganan kejiwaan yang kali itu mereka datangi memang berdekatan dengan warung empal gentong. Embusan angin sukses menguarkannya ke mana-mana. Fokus Alinea malah terbelah dua setelah tiba di sana. Satu untuk segera mengecek keberadaan Jiananta. Dua untuk perutnya yang mulai menabuh musik rock meminta jatah sore.

"Aku laper, Dir." Dia menyeringai lebar saat Dirga hendak memastikan betul atau tidak tempat yang mereka singgahi.

"Mau makan dulu?" Gusti, dia sangat menggemaskan. Jadi pengen nyubit pipinya.

"Nanti aja, deh. Kita masuk dulu. Pastiin dulu kalau Om Jian bener-bener ada di sini." Alinea menatap bangunan tiga lantai di depan.

Plang nama tertempel di salah satu sisi tembok luar. Lembaga Penanganan Kejiwaan Yayasan Bakti Pertiwi. Ada taman luas begitu pengunjung memasuki area. Pucuk merah berjejer rapi di sekitar taman. Selang-seling dengan taiwan beauty ungu di bawahnya. Beberapa bugenvil menyesaki bagian sudut. Samar Alinea bisa menghidu aroma melati, sirih, dan pandan.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang