Frasa Keempat Belas

74 13 0
                                    

Tengah malam, Frasa terbangun. Menemukan larik cahaya masuk melalui celah pintu. Seseorang masih terjaga dan mungkin sedang duduk di ruang keluarga yang memang berhadapan dengan kamar tidurnya. Rasa penasaran membawa Frasa beranjak keluar. Dilihatnya sang ibu duduk memangku sebuah album foto usang.

"Ibu belum tidur? Bukannya besok masuk pagi?" Frasa berdiri di balik sofa.

"Jadi, kamu sekelas dengan anaknya Rita, ya?"

Ah, pertanyaan itu. Sudah lewat satu minggu sejak pertemuan ibunya dengan bunda Alinea. Usai penyerahan hadiah dan piagam, Bunda mengajak Ibu untuk berbincang dalam sesi traktir-mentraktir anak-anak. Tidak di tempat mewah. Hanya mengunjungi salah satu warung bakso dan mi ayam di lokasi terdekat.

Mereka mengobrolkan banyak hal. Lebih banyak perihal anak-anak. Padahal seharusnya, menurut Alinea yang kala itu menyuarakan lewat bisikan, pertemuan kembali Ibu dengan Bunda harus diisi obrolan kisah masa lalu. Hendaknya mereka bernostalgia. Mengutip kisah-kisah romansa masa muda yang telah terlewati.

Sayangnya, itu tidak terjadi. Meski baik Alinea maupun Frasa bisa merasakan bahwa kedua perempuan itu hanya sedang menahan diri. Mungkin suatu hari nanti mereka merencanakan pertemuan kembali. Hanya berdua. Untuk mengenang kisah lama.

"Seperti yang sudah Frasa bilang saat kita makan bakso di warung itu." Frasa beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air. Berlama-lama di sana barangkali Ibu membutuhkan teman mengobrol.

"Apakah Alinea gadis yang menyenangkan?" Ibu mengusap pelan album foto di pangkuan. Senyum tipis bersarang di bibir.

"Ceroboh, emosian, dan sering sekali telat masuk sekolah." Begitu pun Frasa. Senyum terkembang tipis di wajahnya setiap mengingat kelakuan teman semeja.

Ibu tertawa pelan. "Terdengar seperti Rita pada masa muda."

"Ibu sangat dekat dengan bundanya Alinea?"

"Hu um." Ibu mengangguk. "Kami berkenalan sejak fase orientasi murid baru. Satu gugus lalu satu kelas bahkan satu meja."

Satu meja? Wah, kisah mereka apakah bereinkarnasi kepada kami?

"Kami selalu bersama sampai kelas tiga, Sa. Ibu, bundanya Alinea, dan ... ayahmu."

"A-Ayah?"

Ibu mengangguk. "Kami berteman baik. Sebenarnya, yang berteman baik lebih dulu adalah Rita dan ayahmu. Mereka dari SMP yang sama. Sejak kelas 7 selalu satu kelas. Begitu SMA, mereka kembali dipertemukan atau mungkin sebenarnya mereka sepakat untuk sekolah di SMA yang sama."

Frasa mulai tertarik dengan kisah masa lalu mereka. Apakah ada suatu tragedi yang mungkin melibatkan cinta segitiga?

Hanya saja, cerita tak berlanjut.

"Lanjutkan tidurmu, Sa. Ibu juga mau tidur. Ngantuk." Ditepuknya pelan bahu Frasa sebelum memasuki kamar yang memang berdeketan dengan dapur--dengan dispenser yang sejak tadi dihadapi Frasa.

Cowok itu menghela napas. Mengira Ibu akan memberi tahu sesuatu malah menggantung cerita yang justru membuatnya penasaran. Apa dia tanyakan saja nanti ke Alinea? Mungkin, Alinea juga mendapat kisah tentang masa lalu mereka dari sang bunda.

Besok-besok, dia akan tanyakan soal itu pada Alinea jika tidak lupa.

***

Malam purnama. Bulan melingkar penuh tanpa gompal sedikit pun. Cerah terpasang di langit malam. Beberapa rasi tak perlu dilihat dengan teropong bintang. Menggugus di beberapa bagian belahan bumi.

Alinea tak bisa tidur. Sejak tadi hanya bolak-balik tidak jelas di atas ranjang. Miring ke kanan tak juga terpejam. Miring ke kiri tak juga memasuki alam mimpi. Telentang maupun tengkurap sama saja. Ganjaran yang tepat bagi seseorang yang diam-diam mencicipi kopi milik bundanya.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang