Hari itu datang. Pagi-pagi sekali mereka berkumpul di kediaman keluarga Alinea. Dari yang paling paham di bidangnya--seperti Pupuh dan Sastra--sampai yang tidak paham sama sekali--seperti Puspita dan Dirga--siap menjadi supporter tambahan dalam ajang pertarungan terakhir antara Jiananta Bahari dan Karantara.
Sedikit membahas Karantara. Awalnya, pria itu menolak keras bujukan pihak penerbit agar dirinya melakukan challenge bersama Jiananta Bahari untuk membuktikan kepemilikan asli naskah yang telah menjebloskan Jiananta Bahari ke lembaga penanganan kejiwaan selama hampir empat tahun. Sampai akhirnya pihak penerbit, terutama editor, bertindak tegas bahwa jika Karantara tidak mengikuti challenge tersebut, maka keputusan bulat akan diambil. Naskah tersebut berhak menjadi milik Jiananta, sedangkan Karantara akan menerima sanksi bulat terkait undang-undang hak cipta.
Namun, apabila Karantara mau melakukan challenge tersebut yang dihadiri editor senior dari penerbit, beberapa penulis yang mengenal baik Jiananta, serta pegiat literasi yang dipimpin Pupuh dan Sastra, pihak Karantara hanya akan dikenakan denda setengah bagian dari yang ditentukan karena setengah bagian lagi akan ditanggung penerbit. Biar bagaimanapun, penerbit turut andil dalam kekeliruan mengenali karya penulis; tidak menyelidiki dengan baik kasus tersebut. Pada akhirnya, mereka terdesak. Mau tidak mau menerima challenge Alinea atau kredibilitas kepenerbitan mereka diragukan.
"Kita nunggu apa lagi?" Dirga menoleh ke sana kemari. Menghitung partisipan yang ikut. Hanya si Tokoh Utama pada hari itu yang belum terlihat.
"Nunggu elf," sahut Alinea yang duduk di undakan teras sembari meniupi poni.
"Elf? Buat apa?" Dirga mengernyit.
"Biar tertampung dalam satu kendaraan. Kalau di elf enggak muat, baru pakai motor."
Lima menit kemudian, kendaraan yang mirip bus mini itu terparkir di halaman keluarga Alinea. Ayah mengomando agar partisipan yang hadir segera memasuki elf. Alinea santai saja. Dia membiarkan yang lain masuk lebih dulu. Karena Alinea belum masuk, cowok berkepala cepak di sampingnya pun tak terburu-buru. Kapasitas elf yang disewa Ayah bisa muat sampai 15 penumpang.
"Alin, Dirga, mau ikut elf apa motoran?" Ayah melambaikan tangan di pintu elf.
"Masih muat, Yah?" Gadis itu beranjak; menepuk-nepuk bokong demi mengusir debu yang menempel di rok skirt sebetisnya.
"Bisa dimuat-muatin. Tinggal kalian sama Om Jian."
"Hm ... Alinea motoran aja, Yah. Dirga yang nyetir nanti."
Ayah tak langsung mengizinkan. Lebih dulu memindai anak tengahnya. Alinea memberikan senyum lebar sembari mengacungkan kedua jempol tangan. Isyarat bahwa dirinya baik-baik saja meski pagi tadi sempat muntah beberapa kali efek obat yang dia gunakan demi menghambat pertumbuhan sel kanker karena menunda operasi.
"Tolong nyetirnya hati-hati ya, Dir. Enggak usah ngebut."
"Siap, Yah."
Elf short melaju lebih dulu; keluar dari pekarangan.
"Aku mau cek garasi dulu, Dir. Barangkali Ayah lupa ngunci. Kasihan entar kalau ada motor supporter yang hilang karena garasinya gampang dibobok maling. Kamu siapin motornya sana." Gadis itu beranjak ke sisi lain halaman rumah.
Memang, para supporter menitipkan kendaraan masing-masing di garasi rumah Alinea. Mereka tidak mendapat kabar kalau Ayah sudah menyewa kendaraan besar untuk mengangkut semua supporter pada hari itu. Yakin bahwa garasi aman, Alinea kembali menghampiri Dirga. Belum pula membonceng, perut gadis itu bergolak. Terburu-buru menghampiri parit kecil di samping rumah Bubi dan Bibu; mengeluarkan seluruh isinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Romansa"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...