Frasa Keempat Puluh Empat

66 13 0
                                    

Senyum Alinea melebar setelah membaca seluruh komenan dari postingan terkait kasus plagiarisme yang menyeret nama Jiananta Bahari. Satu minggu sejak postingan tersebut terbit, telah lebih dari lima puluh kali di-share ulang. Tidak lupa, akun-akun yang men-share postingannya men-tag akun penggemar milik Karantara dan penerbit yang menerbitkan naskah tersebut.

Pancingannya berhasil. Dengan menjadikan kasus tersebut tranding topic di Facebook, Alinea berharap akan banyak pegiat sastra dan literasi yang speak up. Setidaknya bagi mereka yang mengenal Jiananta Bahari secara profesional tentulah bisa membedakan dan menilai lebih baik tulisan-tulisan mereka. Masa sih tidak satu pun rekan kepenulisan Jiananta Bahari yang menyadari kejanggalan kasus tersebut? Dirinya yang awam saja bisa mengendus ketidakbenaran dari kasus tersebut, kok.

"Lin?" Sastra melongok dari ambang pintu kamar Alinea. "Enggak siap-siap?"

Gadis itu lebih dulu menoleh kepada sang kakak. "Siap-siap?"

"Ya ampun! Kita ini mau nonton turnamen bulu tangkis. Kamu enggak di-SMS Dirga?"

Alinea tersentak. Langsung bangkit dari ranjang. "Hari ini?"

"Iya." Sastra memasang muka sebal. Sungguhlah adik bungsunya itu pelupa!

"Yang lain udah pada dateng. Frasa juga ada. Sama Narasi. Aldara, Lika, sama Puspita juga ikut. Kamu bagaimana, sih? Yang dikasih undangan spesial itu kamu, eh malah lupa."

Alinea menjeling. Bisa menebak ke arah mana kalimat kakak sulungnya. Jelas ingin menggodai kedekatan gadis itu dengan cowok berkepala cepak yang tidak segan bertandang ke rumah mereka jika sedang luang. Akibatnya, keluarga Alinea mengenal dekat cowok itu sampai-sampai bersedia menjadi pendukung di partai final turnamen bulu tangkis yang dia ikuti.

Turnamennya sendiri sudah berlangsung sejak seminggu belakangan. Puncaknya hari itu. Dirga sudah mewanti-wanti mereka agar datang di partai final. Hanya boleh datang di partai final. Selain demi mengirit biaya tiket, Dirga menjadikannya motivasi tersendiri untuk tidak mengecewakan orang-orang terdekat, terkhusus Alinea, bahwa cowok itu mampu menaiki podium tertinggi.

Benar kata Sastra. Mereka sudah menunggu di ruang tamu sembari mengudap beberapa camilan yang mengisi stoples-stoples di atas meja. Kemunculan Alinea mengakhiri acara nyemil mereka. Hanya Ibu yang tidak tampak dalam rombongan. Frasa bilang, beliau memiliki jam lembur. Harus masuk hari itu.

"Loh? Narasi kok sama Aldara? Enggak sama abang sendiri?" Alinea malah bingung saat remaja perempuan itu justru berboncengan dengan orang lain.

"Dia lebih nyaman boncengan sama aku, Lin. Kalau sama Frasa, terlalu hati-hati. Enggak mau diajak ngebut."

"Lah?"

Narasi memberikan cengiran lebar. Selera berkendaranya memang agak lain dibanding anak seumuran.

Mau tak mau, Alinea-lah yang harus boncengan dengan Frasa. Ayah sudah dengan Bunda. Jok belakang motor Sastra sudah dihuni Si Bungsu. Lika pun sudah dengan Puspita. Apa boleh buat, 'kan? Satu-satunya yang kosong hanya boncengan milik Frasa.

"Nyaman?" Frasa menoleh ke belakang untuk memastikan gadis itu duduk dengan baik.

"Hu um. Nyaman." Alinea memberikan anggukan disertai senyum tipis.

"Jangan lupa pakai helm, ya! Ayah dan Bunda enggak mau ikut tanggung jawab kalau sampai ada yang ketilang." Di barisan paling depan, Ayah mengomando.

"Siap!" koor mereka.

Perjalanan dimulai dengan sepeda motor Ayah yang memimpin. Jarak dari rumah mereka ke GOR di mana Dirga akan bertempur hanya memakan waktu lima belas menit. Jalanan ramai oleh pesepeda motor dengan spanduk-spanduk maupun slayer berukiran nama masing-masing jagoan. Selintas, Alinea melihat beberapa pesepeda motor cowok berkepala cepak; membawa spanduk bertuliskan 'Go, Dirga! Go, Dirga!'. Tanpa perlu bertanya pun dia tahu bahwa mereka adalah anak-anak SMK yang juga ikut mendukung perjuangan Si Kepala Cepak.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang