Frasa Kesebelas

84 14 0
                                    

Berbondong-bondong murid SMA yang berniat mendukung Alinea mendatangi lapangan bulu tangkis sekolah sebelah. Di sana, Dirga sudah menunggu. Masih dikawal dua cowok yang kemarin dan beberapa murid SMK yang ingin menyaksikan duel bukan sembarang duel.

Sepanjang hari di kelas, usai perdebatan pagi mereka, Alinea dan Frasa tidak saling bicara. Lebih tepatnya, Alinea yang tak mau mengajak bicara Frasa. Dia masih sedikit tersinggung dengan protesan cowok itu. Terlebih, Frasa pun tidak beritikad untuk memperbaiki pandangannya pagi tadi. Jadilah, dua-duanya hanya saling diam. Saat istirahat pun, mereka sibuk dengan bacaan masing-masing.

Bukan hanya Alinea yang sebal, Frasa pun serupa. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikir Alinea yang gampang sekali tersulut emosi. Niatnya, Frasa tak mau ikut campur. Tak juga ingin hadir di pertarungan Alinea dan Dirga. Baginya, mereka sama-sama kekanakan. Namun, sebelah hati Frasa memaksa untuk datang. Sebelah hati yang paling mendominasi sehingga cowok itu membelokkan kendaraan ke sekolah sebelah.

Lapangan bulu tangkis mereka sudah ramai disesaki pendukung dari kedua belah pihak, meski tetap yang paling mendominasi adalah anak-anak berseragam SMK. Dilihat dari sisi mana pun, Alinea tak tampak gentar. Dia santai-santai saja menyiapkan perlengkapan. Adalah Lika dan Puspita yang membersamai gadis itu. Menjaga tas dan perintilan Alinea.

"Kamu yakin, Lin? Lawanmu cowok, loh." Pupsita menggigit jari. Menatap ngeri ke kubu Dirga.

Entah apa maksud. Cowok berkepala cepak itu memakai jersey tanpa lengan. Memperlihatkan otot-otot bisep yang mulai terbentuk. Beberapa siswi tampak ngiler melihat postur Dirga. Meski baru kelas X, bisa dibilang perawakannya bongsor. Tinggi lagi tegap. Cocok menjadi calon anggota TNI.

"Kalau aku enggak yakin, aku enggak akan di sini." Alinea membenahi kepangan. Menjepit baik-baik poninya agar tidak mengganggu selama pertandingan berjalan.

Yang tampilannya agak aneh malah gadis itu. Mengenakan celana olahraga di bawah dengkul serta kaos berlengan panjang yang jelas-jelas sangat tidak mendukung untuk di lapangan.

Alinea selesai dengan persiapan. Dia lantas menuju tengah lapangan. "Aku mau wasit yang profesional. Kalau bisa, panggil guru olahraga kalian biar pertandingan berjalan fair."

"Enggak masalah." Dirga meminta salah satu kroconya untuk memanggil guru olahraga mereka yang memang belum pulang.

Sambil menunggu, keduanya melakukan pemanasan. Sorak-sorai pendukung kedua kubu mulai terdengar. Spanduk-spanduk dadakan terbentang. Yel-yel yang juga dibuat dadakan mulai membahana. Memanaskan suasana yang memang sudah panas karena terik menjelang petang.

Kroco yang disuruh Dirga kembali bersama guru olahraga mereka. Seorang pria tiga puluhan tahun. Tampak muda, berwibawa, dan gagah. Sebagian siswi SMA malah terpesona dengan guru tersebut.

"Baru tahu di SMK punya guru muda nan ganteng," celetuk salah satu siswi SMA yang membawa spanduk.

"Ho oh. Mirip-mirip Indra Brugman."

Mereka terkikik.

"Kalian siap?"

Alinea dan Dirga mengangguk.

"Biar Dirga duluan yang ambil servis, Pak." Alinea menyilakan.

"Dirga mau terima?"

Dirga mengangguk. "Enggak masalah, Pak."

Mereka dipersilakan menempati posisi masing-masing.

Dirga serve. Pelan saja melewati net. Dapat dikembalikan dengan baik oleh Alinea. Untuk beberapa menit, mereka hanya bermain umpan dan lempar. Tampaknya, kedua bocah itu sepakat untuk menjaga tempo. Memasuki menit ketujuh, Alinea meningkatkan serangan. Mulai memancing dengan mengirim smash-smash menukik ke sudut jauh.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang