Frasa Kedua Puluh Enam

75 14 2
                                    

Tidak ada yang masuk ke otaknya setelah berjam-jam menelusuri barisan senyawa. Jangankan untuk segera menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan dua hari lagi, mendefinisikan rumus mana yang dipakai pun belum dia temukan. Sejak tadi, otaknya hanya memikirkan satu perkara: kenapa Alinea pergi ke pasar dengan Dirga?

Cowok itu menyugar rambut, mendongak, dengan punggung merapat ke bahu kursi. Dua cecak saling berkejaran di langit-langit. Tampak seperti sepasang kekasih yang sedang saling menggoda untuk kemudian bercumbu.

Dua menit kemudian, bukan lagi menyugar, tetapi mengacak-acak helai demi helai hitam yang melindungi batok kepalanya. Dia bangkit, mendekati muka jendela, lantas membukanya. Semilir angin menjelang tengah malam menampar lembut wajah kusut cowok bermata seukuran almond utuh yang sangat menjorok ke dalam; berkesan tajam sehingga memancarkan aura mistis dan galak dalam sekali tatap. Banyak gadis yang langsung terintimidasi tatapannya sewaktu mencoba mendekati.

Apalah namanya perasaan yang menyergap dada bidang cowok itu? Bertanya-tanya sepanjang jalan pulang setelah mereka bertemu beberapa jam lalu. Heran karena gadis itu tampak sangat akrab dengan cowok yang beberapa bulan lalu terlibat pertarungan konyol demi membela dirinya. Mungkinkah dia melewatkan sesuatu sehingga apa yang terjadi di antara mereka tak pernah diketahui olehnya?

Dia menghela napas. Memikirkan kejadian sore tadi, entah kenapa, membuat dadanya seolah dipenuhi bongkahan batu. Menyesak. Menekan udara mengalir tidak normal sampai-sampai otaknya tidak sanggup memikirkan rangkaian rumus penyelesaian kesetimbangan senyawa. Belum pernah dirasakannya hal aneh semacam itu.

Pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar. Sebelum menyahut, suara Ibu terdengar lebih dulu.

"Belum tidur, Sa?"

Frasa beranjak, mendekati pintu, lalu membukanya. "Belum, Bu. Kenapa?"

"Ibu lihat lampu kamarmu masih menyala. Tumben jam segini belum tidur?"

"Masih nyoba ngerjain PR, Bu."

Ibu menangkap kesemrawutan di wajah putra sulungnya. "Ada masalah di sekolah?"

"Enggak ada. Kok, Ibu nebak begitu?"

"Wajahmu itu, loh. Kayak pria yang baru ditinggal nikah sama wanita yang dicintai."

Frasa tersedak. Butuh beberapa detik untuknya mencoba menguasai keadaan. "Ibu ini bicara apa, sih? Pria ditinggal nikah? Jauh banget mikirnya."

Ibu terkekeh pelan. "Mau temani ngopi? Ibu juga belum bisa tidur."

"Bukannya kalau ngopi malah enggak bisa tidur?"

"Besok shift siang. Tenang saja."

"Baiklah. Frasa temani."

Frasa mengekori Ibu. Mereka menuju meja makan.

"Teh atau kopi?" Ibu memasuki dapur; menyiapkan air dalam panci kecil lalu menjerangnya. Meski termos panas masih menyisakan beberapa mili, tetapi Ibu lebih suka menggunakan air yang baru didihkan alih-alih stok dalam termos.

"Frasa teh aja, Bu. Bisa susah tidur kalau kopi."

"Oke." Ibu menyiapkan dua cangkir dengan dua isi berbeda. Tak sampai sepuluh menit, perempuan yang gurat kecantikannya masih terpoles di wajah yang tak lagi muda itu bergabung dengan Frasa di meja makan.

Terang bulan purnama menyusup dari kisi-kisi jendela. Menyoroti beberapa permukaan lantai ruang keluarga. Menciptakan lineria malam yang indah. Hampir seluruh lampu di dalam rumah mereka mati. Tersisa lampu dapur yang menyambung dengan ruang makan; dibiarkan tetap menyala karena mereka di sana. Bahkan lampu kamar Narasi saja sudah mati. Remaja itu memang terbiasa tidur tepat waktu.

Frasa AlineaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang