Kalian tentu tidak asing dengan pepatah kebenaran akan terungkap pada akhirnya. Selalu menjadi pemenang di akhir episode dari setiap cerita. Begitulah yang terjadi kepada keluarga kecil mereka.
Setelah melalui penilaian yang ketat, suara bulat didapat. Naskah yang menjadi debut Karantara di dunia kepenulisan merupakan hasil plagiarisme. Lelaki itu menjiplak keseluruhan, baik ide, nama tokoh, bahkan sampai setting lokasi yang digunakan. Anehnya, saat diminta pihak penilai untuk menuliskan kembali beberapa bab novel tersebut, Karantara justru tidak bisa menuliskannya. Bahkan sekadar memodifikasi kalimatnya saja tak becus dikerjakan.
Sangat berbeda dengan Jiananta Bahari. Meski tidak berharap bahwa hasilnya plek-ketiplek mirip dengan yang sudah terbit, milik Jian justru di luar ekspektasi pihak penilai. Sangat mirip dari mulai kata per kata sampai letak titik dan elipsis pun sesuai dengan naskah mentah yang mereka pegang sebagai panduan.
Bahagia itu akhirnya tiba di keluarga mereka. Nyaris empat tahun mereka dicurangi; membuat mereka harus memilih perpisahan agar satu sama lain tidak lebih jauh tersakiti. Tidak sia-sia kengototan Alinea untuk mengangkat kembali kasus tersebut. Penyelidikan mereka sukses besar. Tanpa menyerahkan bukti CCTV yang ditemukan Ibu pun, Jiananta tetap bisa menang. Mau bagaimana lagi? Lelaki itulah 'ayah' dari naskah yang melejitkan nama Karantara. Tentu saja seluk-beluk isinya masih menempel di kepala Jiananta dengan sangat baik.
Mulai besok, novel tersebut akan ditarik dari perederan untuk dicetak ulang atas nama Jiananta Bahari. Pihak penerbit akan menyatakan keteledorannya dalam memeriksa keaslian hak cipta naskah yang masuk ke meja mereka lewat press conference di salah satu toko buku terbesar mereka di Ibu Kota; mengundang beberapa pegiat literasi sekaligus fans novel tersebut. Sementara untuk Karantara ... Alinea mengikuti langkah lelaki itu yang keluar dari Fakultas Pendidikan di antara gegap gempita kegembiraan lawannya.
"Om enggak mau minta maaf kepada Om Jian dan keluarga mereka?" Suara Alinea berhasil menghentikan langkah lelaki itu.
Mereka di lorong menuju keluar. Sepi. Hanya mereka di sana. Itu hari libur. Tidak ada mahasiswa maupun mahasiswi yang berkeliaran.
Tak ada jawaban dari lelaki itu.
"Enggak seharusnya cinta yang Om punya digunakan untuk menyakiti orang lain. Cinta bukan sarana untuk melakukan tindak kejahatan. Cinta enggak akan pernah setuju kalau dirinya menjadi perantara kenelangsaan seseorang. Namun, banyak oknum mengatasnamakan cinta untuk berbuat semau mereka bahkan sampai melanggar norma. Cinta datang bukan untuk menyakiti siapa pun, Om. Seharunya, Om paham soal itu, bukan?"
Lelaki itu mendengkus. Memilih mengabaikan ocehan bocah kemarin sore dan kembali melanjutkan langkah.
Di tempatnya, Alinea menghela napas. Benar. Cinta datang bukan untuk menyakiti, tetapi sebagian manusia memanfaatkannya justru untuk menyakiti orang lain.
Mungkin, dirinya juga seperti itu. Cinta yang mereka punya hanya akan saling menyakiti pada akhirnya.
Gadis itu kembali bergabung dengan rombongan. Disambut oleh rencana perayaan yang akan digelar di rumah Ibu sepulang mereka dari sana. Tentu saja tak ada yang menolak. Siapa memangnya yang mau mengabaikan nikmatnya ayam dan jagung bakar?
Maka malam itu, halaman rumah keluarga Jiananta Bahari ramai oleh senyum-senyum lebar sekaligus perdebatan Alinea dan Dirga. Pun lamaran mendadak yang diberikan Jiananta kepada Ibu. Mereka sepakat untuk kembali menikah minggu depan. Hanya di KUA. Ayah dan Pupuh bersedia menjadi saksi pernikahan mereka.
Tinggal satu tugas lagi yang harus diselesaikan. Semoga izin bisa dikantongi Frasa jika benar dirinya terpilih sebagai peserta writing camp. Melihat situasi dan kondisi yang berlangsung, besar kemungkinan izin bisa didapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frasa Alinea
Romansa"Kukira, hanya Bunda yang memberikan nama aneh kepada anak-anaknya. Ternyata, ada juga yang ibunya memiliki selera selaras dengan Bunda. Namanya Sebaris Frasa Bahari. Cowok yang suka menyendiri di perpustakaan untuk baca novel, teman sekelasku, seka...