10. Nasib Juliet

120 25 0
                                    

Romeo nyaris di cekik.

Sayangnya tangan Juliet tak kuasa seperti hilang seribu daya.

Wajah pucat yang ingin dihabisinya itu, tampak menyedihkan dan kuyu. Juliet memejam. Baru kali ini merasa tidak tega. Tapi, jika tidak melenyapkan Romeo sekarang, apakah Juliet akan selamat dari amukannya kelak?

Seolah tak mujur disaat kacau, Romeo malah menunjukkan tanda- tanda bangun. Dengan sigap Juliet berberes, meraih remot TV dan mematikannya dengan tergesa.

"Bagaimana keadaanmu?" ujar Juliet cepat, pasang muka baik-baik saja meskipun saat ini dia dilanda panik total.

"Ah, Juliet ya? Kau disini?" laki-laki itu bangkit dari ranjang dan menghambur memeluknya. Betapa dekat jarak keduanya hingga Romeo dapat mencium aroma yang menguar di tengkuk, dari balik surai hitam yang menjuntai.

"Hmm. Hari ini kau ganti parfume? Boleh aku menciumnya lagi?" lepas Romeo. Meraih leher Juliet lalu membaui tengkuk gadis itu dengan hidung mancungnya.

Juliet mengigit bibirnya kuat-kuat. Walau Romeo menggodanya disaat yang sama sekali tidak tepat, Juliet harus bisa menahannya dan berpura-pura. Perempuan cantik itu lalu memasang senyum terbaiknya. "Bukankah kau suka bunga mawar?"

Romeo tertawa kecil."Iya."

"Lantas. Bagaimana jika kau tertusuk durinya Romeo?"

"Itu resiko." Jawab Romeo lembut. Juliet tercenung. Kaget bisa melihat ketulusan itu di mata sang pemimpin Mont Ave. Sorot yang tajam itu melembut, seperti bukan Romeo yang ia kenal brutal. Tentu saja bunga mawar penuh duri yang dimaksud adalah kiasan untuk Juliet itu sendiri.

Juliet kemudian menghembus nafas panjang. "Apa masih ada keluhan? Aku akan pergi ke ruang dokter jika perlu."

Romeo angkat bahu. "Entahlah. Tapi apa kau tau, rasanya aku bisa mati dan mengunjungi neraka tadi malam gara-gara whiskey. Aneh sekali."

"Ah itu-"

Juliet melamun miris. "Setidaknya, kau gak jadi mati kan? Minta ampunlah pada tuhanmu karena telah diberi kesempatan hidup, Romeo—"

"Kau mau kemana sekarang?" Romeo menautkan alis, saat Juliet melepas tangan Romeo dari pinggangya. Tanpa menoleh sedikit pun, Juliet berpaling. Sepertinya tergopoh menghindarinya.

"Aku akan keluar memanggil dokter. Tunggu sebentar." Juliet lalu melenggang keluar ruangan. Berkelit ingin memanggil dokter jaga padahal rasanya dia mau kabur dari ini semua, kabur ke luar negeri dan meninggalkan identitasnya untuk memulai hidup baru. Tapi kita semua tau realitanya tidak segampang itu.

Jika Juliet menyerah lalu kabur sekarang, itu tidak akan menyelesaikan segalanya. Yang ada, Romeo malah akan curiga padanya.

Romeo adalah target yang sudah jadi tanggung jawabnya, juga kehilangan Romeo itu berarti kehilangan loyalitasnya pada Benvolio. Lagipula, entah apa yang akan dilakukan psiko Daniel jika Juliet lari dari masalah. Tidak ada jalan keluar selain menghadapi ini semua.

Mempertimbangkan hal itu, Juliet kembali kedalam kamar inap Romeo dengan ketegaran yang tersisa. Ingin mencoba memperbaiki kekacauan yang ada. Namun baru saja ia tiba, nyaris melangkah masuk setelah membuka pintu, Romeo tampaknya sudah mengamuk didalam sana.

"Bajingan! Bangsat mana yang melakukan ini semua!"

Seolah waktu dibuat melambat bagi Juliet, gerakan kacau Romeo melempar gelas dan ambyar tampak slomotion, penuh drama, langsung membuat Juliet mencelos tak karuan.

Saat itu juga Juliet langsung terpaku di ambang pintu, dengan mata melebar dan dada berdegup kencang. Kaki jenjangnya seolah lengket ke lantai tidak mau beranjak.

Bak kesurupan iblis azazil, laki-laki itu tampak membanting ponselnya hingga hancur berkeping-keping. Baru saja ia ditelfon oleh pelayan dirumah yang mengabarkan jika Lyly tewas dan jasadnya dimasukkan didalam tangki.

"Aku akan mencari sampai dapat siapa gerombolan dibalik semua ini dan aku akan membalasnya segalanya! Keparat sialan!"

Juliet gemetar.

Kurang puas, Romeo dengan amarah di ubun-ubun berusaha memecahkan apapun, tidak sadar jika kekasihnya berdiri giris di ambang pintu. Beralih mengacuhkan barang pecah belah yang berhamburan diatas lantai. Dan berjalan diatasnya sampai kakinya berdarah-darah.

Meraung. Seolah semesta mau runtuh. Seolah Romeo adalah laki-laki paling menderita sedunia, meluapkan rasa murka, bingung, dan duka dengan mencengkram tiang infus lalu membantingnya ke lantai dengan sekuat tenaga.

PRANG!! (suara pecah)

"Cukup!" Juliet berteriak. Menutup pintu, menguncinya rapat agar orang-orang penasaran tidak menggila dan mengambil momen untuk membuat konten media.

Romeo balik berteriak. "Bagaimana bisa cukup!?"

Juliet berjengit kaget. Murka Romeo memang membuatnya ngeri, sekuat apapun Juliet, bohong jika Juliet tidak takut saat ini. Mentalnya juga kacau. Se-kacau rencanaya gara-gara Daniel. Tapi Juliet menelan segala rasa itu bulat-bulat sebab Romeo harus segera ditenangkan.

Gadis itu berjalan mendekati Romeo dengan lelehan airmata yang berhasil ia buat. Lalu merengkuh tubuh Romeo kedalam pelukannya. "Kau harus tabah, hm?" tenangnya.

Romeo segera meraih Juliet, balas memeluk perempuan itu untuk meluapkan perasaan."Aku mungkin kriminal dan hama. Tapi yang kulakukan hanyalah untuk setia dan berbakti pada keluargaku. Siapa yang melakukan ini pada kami? Sial. Walau Nyonya Lyly seperti orang jahat, dia tetap seorang ibu untukku, Juliet. Aku mendapatkan segala fasilitas dan kasih sayang seorang ibu darinya disaat orang lain tidak tahu. Dia sudah seperti ibu kandungku sendiri."

"R-Romeo?"

Juliet lantas termangu, masih mencerna kalimat menyedihkan itu sementara tangis Romeo mendadak pecah, meraung seperti anak kecil polos yang permennya direbut. Menunjukkan sisi lain si bengal Romeo yang rapuh dan fragile, mengejutkan Juliet.

Juliet memejamkan mata, kacau rasanya. Melihat Romeo terpuruk. Kepalanya juga sakit memikirkan bagaimana nasibnya sendiri kelak.

Perempuan itu tak mampu melihat mata Romeo yang basah dan berharap akan kehangatan yang mustahil Juliet berikan. Kasih sayang dan cinta adalah hal yang tidak bisa Juliet curahi dengan tulus untuknya sekarang. Romeo berharap apa pada Juliet? Seorang pembunuh bayaran ini. Dan Juliet mau berharap apa pada Romeo? Yang mana dia adalah targetnya sendiri.

Kisah keduanya adalah suatu hal yang berbahaya dan mengancam nyawa. Keterikatan keduanya adalah ironis yang sedikit dibumbui manis. Dan kerumitan yang muncul itu, membuat semesta memaksa keduanya pasrah dan tunduk pada benang takdir. Juliet mungkin sudah merencanakan segalanya. Namun jika Tuhan Yang Maha Esa berkehendak lain, dia bisa apa?

Romeo berkata, "Aku akan menghancurkan siapapun yang berani membunuh ibuku. Aku tidak akan mengampuninya." Semangat Romeo mendadak bangkit kembali.

Juliet menahan lengan kekarnya. "Jangan!" Lalu menelan salivanya susah payah. "Tunggu dulu. Jangan terburu-buru begini. Maksudku, kondisimu belum stabil juga 'kan ak—"

"Maaf Juliet. Ini sudah tidak bisa di toleransi." Romeo beranjak dan tertatih.

"Tunggu! Rome—"

"Maaf Juliet."

Juliet kalut menatap nanar. 'Jika suatu saat identitasku terungkap sebagai komplotan Daniel. Bukankah aku harus menerima kenyataan jika aku akan di buru balik oleh Romeo?'

Sebelum itu terjadi. Perempuan itu kemudian merogoh ponselnya. Menelfon Daniel namun tidak pernah tersambung. Tidak pernah karena Daniel sibuk kabur. Juliet merapatkan rahang. Mencengkram benda kotak touchscreen dengan erangan geram.

Kalau begitu, Juliet harus segera menyusul Romeo dan mengatasi si doberman itu bagaimanapun caranya. Baiklah, tenang, kuasasi keadaan, ayo cari jalan keluarnya.

Itu jauh lebih baik daripada pasrah, ketahuan Romeo, dan cerita akan berakhir tamat sampai disini.










***
To be continue

Ayo bantu aku ramaikan ceritanya. Jangan lupa vote 🙌

Killing Romeo (Dark-romance) [𝐘𝐞𝐣𝐢-𝐇𝐲𝐮𝐧𝐣𝐢𝐧] 𝐘𝐞𝐨𝐧𝐣𝐮𝐧]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang