14. Sunset and Money

12.5K 707 11
                                    

TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 14 – Sunset and Money

Ruangan tempat Arthur berada saat ini memiliki pencahayaan yang sangat baik, jendelanya menghadap ke arah barat sehingga dia bisa melihat matahari terbenam di ujung sana—begitu pun juga dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Pandangan Arthur pada banyak hal selalu terkesan monoton. Dia melihat tempat-tempat indah di dunia, wanita-wanita cantik, berbagai jenis permata yang berkilauan, lukisan-lukisan yang kata orang lain sangat penuh makna dari seniman-seniman terkenal, tapi tidak pernah merasakan apa pun saat melihat atau memiliki semua itu.

Kecuali matahari terbenam. Fenomena yang satu ini selalu berhasil menyita perhatiannya lebih dari yang dia inginkan, selalu membuatnya merasakan sesuatu yang tidak pernah bisa dia definisikan. Sehingga Arthur pun berdiri di hadapan jendelanya yang luas sampai yang tersisa di langit hanya seberkas cahaya oranye redup yang perlahan-lahan menghilang sepenuhnya.

Setelah kematian Alastair Rutherford, jabatan Presiden Direktur diturunkan pada Arthur. Dan itu menyita banyak waktunya pada satu waktu, sementara di waktu yang lain dia bisa memiliki terlalu banyak waktu luang sehingga bingung apa yang harus dilakukan. Rutinitas yang hampir selalu sama setiap saat nyaris membuatnya merasa jenuh.

Namun selain matahari tenggelam, uang adalah hal lain yang berhasil membuatnya merasakan sesuatu. Harta yang Alastair Rutherford wariskan padanya bahkan belum terasa cukup menurut Arthur, sehingga dia merasa harus selalu bekerja dan mencari banyak uang, dan selalu menikmati setiap prosesnya.

Hanya saja, hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Suatu hari nanti dia akan mati dan meninggalkan semua hasil kerja kerasnya ini di belakang. Seperti halnya Alastair yang memilihnya sebagai ahli waris yang tepat, Arthur pun harus memilih ahli warisnya sendiri. Dan saat dia memikirkan hal itu, dia teringat pada sepupunya, dan bersumpah bahwa semua hartanya tidak akan dia izinkan disentuh oleh pria itu.

Itulah kenapa, Arthur membutuhkan seorang anak yang merupakan darah dagingnya sendiri. Seorang anak sah, yang akan dia ajarkan dan siapkan untuk mewarisi segalanya yang dia miliki. 

Namun sayangnya, hal itu mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Istrinya terlalu polos, terlalu naif, dan terlalu lemah untuk dia sentuh—seolah wanita itu akan pecah berkeping-keping seperti porselen antik. Bahkan saat mengingat respon Helenina pada sebuah pelukan saja, membuat kepala Arthur sakit. Lalu mereka berhasil melakukan ke tahap yang lebih lanjut, yaitu ciuman. Tapi itu saja nyaris membuat wanita itu pingsan.

Ruangan Arthur kini sepenuhnya dipenuhi cahaya dari lampu, bukan lagi dari sinar matahari. Dan suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. 

Dia melangkah ke arah sofa setelah mempersilakan si tamunya untuk masuk. 

Francis membukakan pintu, lalu seorang pria jangkung dengan rambut pirang terang melangkah masuk. Mata biru safirnya langsung tertuju ke arah sofa, dia menghampiri tempat itu dan duduk di hadapan Arthur.

“Aku belum mempersilakanmu untuk duduk, Tuan Henry Baron,” kata Arthur dengan nada dingin yang penuh kuasa, menatap rendah ke arah pria di hadapannya.

Dan pria itu balas menatapnya tanpa ekspresi apa pun, seolah dia tidak terpengaruh sama sekali.

“Aku pria yang sibuk, Rutherford, jadi tidak perlu basa-basi,” sahut pria itu.

Arthur terkekeh tanpa nada humor sedikit pun. “Apakah karena sekarang kita sudah menjadi keluarga? Aku semakin ingin mengakrabkan diri denganmu,” kata Arthur lagi dengan nada yang dipenuhi sarkas.

Pria yang bernama Henry Baron di hadapannya ini, adalah anak tertua dari Thomas Baron. Dia menatap Arthur sama merendahkannya seperti Arthur juga menatapnya. “Tidak perlu repot-repot,” dia berkata.

Arthur menyandarkan punggungnya di sofa itu, dengan sebelah tangan terlentah ke sandaran sofa. Gesturnya santai, tapi di saat yang sama dipenuhi kewaspadaan tinggi dan aura penguasa yang pekat.

“Aku tahu bahwa kaulah yang membantu Rosaline untuk melarikan diri.”

Ada sebuah keterkejutan yang Arthur tangkap di mata Henry saat dia mengungkapkan hal tersebut, tapi dengan cepat keterkejutan itu lenyap dalam satu kedipan mata.

“Kita di sini bukan untuk membahas hal tersebut,” kata Henry.

“Kenapa kau melakukannya?” balas Arthur, merujuk pada ucapannya sendiri.

Henry terdiam selama beberapa saat. Dan mereka hanya saling tatap sampai dia sadar bahwa pria di hadapannya tidak berniat untuk berhenti membahas tentang topik ini. Kemudian Henry pun mengutarakan jawabannya dengan tenang dan ringan;

“Rosaline masih dibutuhkan.”

Terjadi sebuah keheningan yang panjang dengan tekanan di sekitarnya yang jadi semakin berat. Dua pria penuh kuasa itu saling menatap.

“Aku mengagumi Thomas Baron, terlepas dari figurnya sebagai ayah yang sangat buruk. Dia bahkan tidak berhasil mendidik anaknya dengan baik,” cerca Arthur, memecah keheningan tersebut dalam sekejap, seperti retakan es yang diinjak.

Henry mengalihkan pandangannya seraya menghela napas panjang, lalu menatap Arthur lagi. “Aku juga turut prihatin padamu akan hal itu. Helenina memang ... sedikit sulit diatur. Dia terlalu dimanjakan dan terbiasa menerima segalanya tanpa harus berupaya lebih dulu. Dia—”

“Apa kita membicarakan tentang topik yang sama saat ini? Ataukah kau memiliki seorang adik lagi yang kebetulan memiliki nama yang sama seperti istriku?” sela Arthur dengan dahi mengernyit dalam. 

Karena baginya, kata ‘manja’ sangat tidak sesuai untuk mendeskripsikan istrinya. Wanita itu telah tinggal bersamanya selama berhari-hari, namun satu-satunya hal yang dia minta darinya hanyalah tidur di kamar yang sama. 

Arthur telah menduga bahwa pengeluarannya pada bulan ini akan meningkat drastis, untuk membeli baju-baju yang indah setiap saat yang tidak ada habisnya, untuk membeli berbagai jenis perhiasan yang berkilau, atau untuk kemewahan-kemewahan lainnya yang wanita itu harapkan. Tapi tidak ada. Wanita itu bahkan tidak pernah membeli apa pun, apalagi menyentuh uang yang Arthur berikan padanya.

“Aku tidak membicarakan tentang istriku,” kata Arthur, lalu melanjutkan dengan nada menohok, “Yang kumaksud adalah kau.”

Mendengar itu, Henry jelas tampak kesal. Dia ikut menyandarkan punggungnya dan mengabaikan tentang kesopanan—yang memang sejak awal tidak dia pedulikan.

“Ah, maaf sudah salah paham. Tapi ... apakah ayahmu bahkan mengajarimu sesuatu selain menjadi seorang bajingan rendahan? Tidak, kurasa. Dia terlalu sibuk menjalani masa hukumannya di penjara untuk memperhatikan atau bahkan peduli tentang putranya.”

“Ya, kurasa juga begitu. Tapi aku merasa senang karena perhatianmu pada kondisi keluargaku. Apakah ini karena ikatan baru keluarga kita?” sahut Arthur sesaat setelah hinaan tersebut diucapkan Henry. Arthur membalasnya dengan nada ringan dan seolah tidak merasa tersinggung sedikit pun, dan memang tidak. Perasaan itu sudah dikuburnya dalam-dalam.

Kali ini, Henry tampak jauh lebih kesal dari sebelumnya. “Rutherford, apakah kau berniat melakukan kerja sama ini atau tidak?” ucapnya.

“Tentu saja aku berniat, Kakak Ipar,” jawab Arthur, diikuti dengan senyuman di bibir, yang tidak sedikit pun menunjukkan ketulusan.

***


❤❤❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

❤❤❤

TAMING THE DEVILISH HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang