25. Interrupting His Time

11.1K 667 18
                                    

TAMING THE DEVILISH HUSBAND chapter 25 – Interrupting His Time

Saat pandangan mereka bertemu, keterkejutan tampak di mata pria itu, tapi hanya sebentar karena setelahnya tatapan datarnya yang khas kembali. Dia melirik ke arah jam di dinding dan berkata, "Masih ada waktu dua puluh menit lagi dari waktu yang kujanjikan. Apa ada alasan lain kenapa kau menemuiku secepat ini?"

Sebelum Helenina bisa menjawab, tatapan Arthur berlabuh ke nampan di tangan Helenina.

"Aku datang untuk membawakanmu teh," kata Helenina kemudian. Dia sengaja menghindari tatapan Arthur karena itu hanya akan membuatnya semakin gugup.

Suara buku yang ditutup terdengar keras di ruangan yang mendadak jadi sunyi itu. Helenina berjengit sedikit. Saat ini, dia baru sadar bahwa dia tengah mengganggu waktu kerja suaminya, dan dia takut membuat pria itu marah.

"Kau tidak harus melakukannya, letakkan saja teh itu di meja dan pergilah bersiap-siap!" Arthur melangkah ke arah meja kerjanya, meletakkan buku tebal yang tadi dia baca, kemudian menatap ke arah laptopnya seolah Helenina sudah tidak ada lagi di sana bersamanya.

Helenina tidak mengindahkan sikap mengabaikan pria itu. Dia berpaling untuk meletakkan nampan tehnya ke atas meja, kemudian alih-alih pergi seperti yang Arthur perintahkan, dia justru duduk di sofa. Tidak lagi peduli kalau Arthur akan marah padanya, karena Helenina merasa bahwa dia sudah terlanjur melakukan ini, lebih baik lanjut daripada menunda-nunda lagi.

Dan keputusan Helenina itu mengundang perhatian Arthur. Mata yang kelam itu mengintip dari balik kacamata yang bening, menatap Helenina tajam—cukup tajam untuk menciutkan kembali nyali yang telah Helenina kumpulkan.

"Aku yakin kau mendengarku, Nina." kata Arthur.

Helenina menggangguk, tatapannya tampak gelisah. "Arthur, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucapnya akhirnya.

"Katakanlah!" sahut Arthur dengan kesan dingin.

Kata-kata sudah ada di ujung lidah Helenina, namun terasa begitu sulit untuk dilontarkan. "Aku ... aku akan menunggumu menyelesaikan pekerjaanmu. Kita akan bicara—"

Arthur melepas kacamatanya dan meletakkannya dengan kasar ke atas meja. Lagi-lagi suara yang ditimbulkannya membuat Helenina berjengit.

"Katakan sekarang!" tegas Arthur.

Helenina memejamkan mata, kemudian mengungkapkan semuanya dalam satu tarikan napas, "Aku tidak hamil!"

Keheningan langsung menyertai setelahnya. Helenina terlalu takut untuk membuka mata dan menghadapi kemarahan Arthur.

Tapi justru yang Helenina dengar hanyalah pertanyaan yang diungkankan hanya untuk memastikan. "Apa kau yakin?"

Helenina mengangguk kuat-kuat. Dia yakin.

"Dan darimana keyakinanmu itu bisa dibuktikan?" tanya Arthur lagi. Pria itu terdengar begitu serius. Sementara Helenina bingung harus menjawab apa.

"Nina, kalau kau tidak menjawabnya, kita akan tetap pergi ke dokter."

Helenina nyaris mengerang. Tidakkah Arthur bisa mengerti sendiri kenapa Helenina bisa begitu yakin?

Namun tampaknya pria itu benar-benar serius dengan pernyataannya.

"Aku berdarah!" jawab Helenina pada akhirnya.

Keheningan yang memekakkan telinga membentang luas setelah itu. Dan tampaknya butuh beberapa saat bagi Arthur untuk mengerti maksudnya. Dan saat itu terjadi, dia memberikan Helenina sebuah anggukan.

"Baiklah, kalau memang begitu. Kita tidak perlu ke dokter."

Helenina menghela napas lega. "Terima kasih," gumamnya pelan. Helenina tadinya takut bahwa Arthur akan benar-benar marah dan kecewa, tapi tampaknya pria ini meresponnya dengan baik-baik saja, bahkan terlampau tenang.

Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir Helenina, dia menunduk untuk menyembunyikan kelegaannya itu dengan berpura-pura sibuk menuangkan teh ke dua cangkir kecil di atas nampan.

Helenina tidak sadar saat Arthur melangkah mendekat dan duduk tepat di sampingnya. Merasakan hawa tubuh pria itu yang begitu dekat, semua sensitivitas di dalam tubuh Helenina pun langsung menyala. Dia membeku untuk beberapa saat, dengan gagang cangkir yang dipegangnya gemetaran.

Sebuah tangan yang lebih besar dan berurat menangkup tangan Helenina, mengambil alih gagang cangkir itu yang kemudian lepas dengan begitu mudahnya dari pegangan Helenina. Arthur meletakkan benda itu ke atas meja dengan pelan. Lalu mencondongkan badannya sampai Helenina bisa merasakan napas pria itu menerpa lehernya.

Arthur begitu dekat, dan Helenina sama sekali tidak siap dengan apa pun yang hendak suaminya ini lakukan padanya.

"Tampaknya kita harus mencobanya sekali lagi, Nina," bisik Arthur, dengan suaranya yang rendah dan tegas itu.

Oh, Helenina tidak perlu bertanya 'melakukan sekali lagi' apa yang pria itu maksud. Helenina mengerti dengan begitu cepat karena gelenyar familiar yang dia rasakan saat ini—yang menyebar langsung ke seluruh tubuhnya hanya karena sentuhan seringan bulu yang Arthur lancarkan ke telinganya.

Helenina masih terbayang dengan ciuman mereka sejam lalu dan kokohnya tubuh Arthur saat menghimpitnya dan memeluknya erat di dinding kamar mereka.

Namun kemudian tiba-tiba saja Arthur menjauh.

"Kapan biasanya kondisimu ini selesai?" tanya Arthur.

Kekecewaan membanjiri Helenina ketika mendengar nada serius yang Arthur kembali gunakan padanya.

"Ngm, sekitar tiga sampai lima hari," jawab Helenina dengan wajah merona malu. Selama ini Helenina diajarkan bahwa periode bulanan adalah sebuah kondisi yang begitu pribadi dan seharusnya tidak dibagikan ke orang lain, sekalipun itu ke sesama wanita. Tapi sekarang, Helenina telah memberi tahu Arthur. Sekalipun pria ini adalah suaminya, Helenina tidak bisa menghilahgkan perasaan malu yang dia rasakan.

"Hmmm, aku bisa tahan kalau hanya selama itu," sahut Arthur, yang lebih terkesan seperti sebuah gumaman untuk dirinya sendiri.

Bisa tahan apa maksudnya? Helenina tidak mengerti.

"Asher dan Bibi Madeline akan tinggal di sini selama tiga hari ke depan. Pastikan kau tidak terlalu banyak berinteraksi dengan mereka," kata Arthur, mengalihkan fokus Helenina.

"Ya," jawabnya patuh. Tapi sepertinya Arthur tidak akan tahu kalau Helenina mengobrol dengan Bibi Madelina tadi. Pembicaraan mereka juga dipenuhi omong kosong, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Apa pun masalah yang ada di keluarga ini, Helenina hanya harus memercayai suaminya.

"Aku sibuk, kau bisa pergi kalau urusanmu di sini sudah selesai." Arthur bangkit berdiri dan kembali duduk di balik meja kerjanya. Aura dingin dan penuh kuasa dari pria itu kembali mendominasi, nyaris membuat Helenina langsung menurut saat itu juga pada apa pun yang dia perintahkan.

Namun justru, saat ini, omong kosong yang Bibi Madeline katakan padanya tadi terlintas di benak. Dan godaan untuk menggoda Arthur agar suaminya itu memperhatikannya muncul dengan begitu kuat.

Tapi dalam sekejap Helenina langsung tersadar dan dia terkejut dengan pemikirannya barusan. Rona merah sontak menjalari pipinya. Dan satu-satunya hal yang tersisa adalah keluar dari ruangan ini secepat mungkin sebelum Arthur menyadari pikirannya. Ya ampun, Helenina bahkan pernah begitu percaya bahwa Arthur memang benar-benar bisa membaca pikirannya.

"Kalau begitu aku pamit!" kata Helenina sembari bangkit. Dia tidak menatap ke arah Arthur sedikit pun dan melangkah cepat menuju pintu.

Namun saat Helenina hendak menyentuh gagang pintu tersebut, tiba-tiba saja pintunya terbuka dari luar. Suara feminin seorang wanita langsung menyambut, memanggil nama suaminya dengan begitu mesra.

"Arthur! Sayang, apa kau—"

Helenina sontak membeku di tempatnya, begitu pun juga dengan wanita itu. Ini sudah yang kedua kali Helenina berada dalam situasi ini, namun sekarang ... dia merasa lebih tidak nyaman dari sebelumnya.

"Oh, Nyonya. Saya tidak tahu kalau Anda ...."

Setelah sesaat mengembalikan kendali dirinya, Helenina menampilkan senyuman ramah. "Tidak apa-apa, kau bisa masuk. Maaf kalau kehadiranku mengganggu," ucapnya, kemudian melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan tersebut.

Sementara Arthur hanya menatapnya di belakang tanpa berniat untuk mencegah atau menjelaskan apa pun.

***

TAMING THE DEVILISH HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang