(28) Permen dari Korea

1K 173 17
                                    

Pulang dari luar kota setelah mengurus pekerjaan, bukannya membuat anaknya merasa senang, tetapi Jay malah membuat Jungwon cemberut maksimal sejak anak itu bangun tidur. Hanya ingin memberi too much information, sih, kalau lelaki itu sudah kembali ke rumah sejak kemarin siang.

Kalau ditanya, apa sih yang membuat Jungwon si bocil gemoy satu itu cemberut maksimal di pagi hari yang cerah begini? Jawabannya adalah karena ucapan yang dikatakan sang ayah saat bocah itu selesai mandi—tepat setelah bangun tidur.

Jay yang mengeringkan rambut sang putra, langsung menyeletuk, "Rambut Wonie udah panjang lagi, nih. Potong, ya?"

Ingat waktu Jungwon dipotong rambutnya beberapa bulan lalu? Ya, bocah itu benar-benar meminta banyak sekali mainan dan bentuk sogokan lainnya untuk memperbaiki moodnya yang berantakan. Akan tetapi sepertinya Jay tidak pernah kapok. Buktinya saat melihat rambut putra tunggalnya yang mulai panjang, ia langsung mengajak anaknya itu untuk potong rambut.

Oh, tentu saja jalannya tidak semudah itu, yeorobun! Jungwon sekarang mulai pintar. Bocah itu berkata kalau sogok-menyogok adalah tindakan penuh dosa. Rasuah! Katanya. Wah, Jay tahu. Pasti anaknya itu mengetahui perkara rasuah—korupsi—dari serial animasi yang ditonton bocah itu setiap sore. Memang ada bagusnya, sih, karena tontonan anaknya itu lumayan memberikan banyak pelajaran. Akan tetapi, masalahnya ... Jungwon jadi susah diiming-imingi sesuatu untuk melakukan sesuatu yang lain.

Heh, memangnya korupsi dengan penyogokan itu sama, ya? Entahlah, Jay juga tidak terlalu mengerti, sih.

"Jangan cemberut gitu, dong. Nanti gantengnya hilang." Jay berujar sambil sesekali melirik ke arah anaknya yang masih saja cemberut maksimal dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Entah belajar dari mana bocah satu itu. Perasaan, dirinya saat marah tidak pernah bertingkah begitu, lho. Jay benar-benar bingung.

Namun, sesuai dugaan. Jungwon sama sekali tidak merespons. Bocah tujuh tahun itu malah mengalihkan tatapannya ke jendela. Terlihat sangat bosan dan tidak suka dengan perjalanannya bersama sang ayah hari ini.

Sementara itu, Jay sendiri terlihat sibuk mencari cara. Bagaimana kiranya supaya Jungwon tidak merajuk lagi? Otaknya benar-benar dibuat berpikir keras. Ia tidak mau bertingkah seolah-olah dirinya adalah yang paling menderita. Takut kalau semisal anaknya malah mengikuti apa yang ia lakukan, tetapi untuk sesuatu yang salah. Padahal, sejak tadi Jay berpikir untuk berkata, "Memangnya Wonie nggak sayang Papa lagi, ya? Tahu begitu, Papa nggak usah pulang aja, soalnya Wonie udah nggak mau nurut sama Papa lagi."

Iya, Jay ingin berkata begitu tadi. Beruntungnya, ia segera disadarkan oleh dirinya sendiri kalau apa yang hendak dilakukan itu tidak baik. Mungkin, sesekali ia perlu berlaku tegas kepada anaknya, apalagi, Jungwon adalah anak laki-laki yang suatu hari nanti harus menjadi seorang pemimpin di keluarganya.

"Wonie tau kalau Papa sayang banget sama Wonie, kan?" Walaupun tahu kalau anaknya tidak akan langsung merespons, setidaknya ia harus melakukan sesuatu. "Papa ajak Wonie potong rambut juga bukan tanpa alasan, lho, Nak. Wonie tau sendiri, kan, kalau anak sekolah nggak boleh punya rambut panjang?"

Jungwon masih diam. Entah bagaimana lagi caranya memberikan pandangan kepada sang putra, tetapi lewat kalimat yang mudah dimengerti oleh bocah itu.

"Wonie nggak potong rambut sendiri, kok," ujar Jay lagi. "Papa juga bakal ikut potong rambut. Liat, nih, rambut Papa udah hampir nutupin mata. Kalo nggak dikasih pomade, pasti rambutnya nusuk-nuduk ke mata. Sakit. Wonie gitu juga, nggak?"

Lampu jalanan yang berubah merah, Jay gunakan untuk mencoba berbicara dengan putranya itu. Walaupun Jungwon terlihat ogah, tetapi diam-diam, bocah itu melirik. Memastikan apakah ucapan sang ayah benar atau hanya ingin menggoyahkan keyakinannya yang 'tidak ingin potong rambut' saja.

(NOT) Just Papa and Me! [JayWon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang