(14) Tamu (Iblis) Tak Diundang

1.6K 268 5
                                    

Ketika bangun tidur, Jungwon dikejutkan dengan suara bersin-bersin dan batuk yang berasal dari sang ayah. Selain itu, lelaki kesayangannya tersebut juga terlihat pucat dan mengginggil kedinginan. Padahal, Jungwon melihat jika papanya sudah menggunakan pakaian tebal dan dua selimut. Pendingin ruangan juga sudah diatur temperaturnya menjadi hangat.

Maka dari itu, melihat apa yang terjadi kepada sang ayah, membuat Jungwon seketika menyimpulkan jika ayahnya itu sedang terserang flu, batuk dan juga demam.

"Badan Papa panas banget!" serunya dengan wajah shock. "Papa sakit, ya? Papa demam, kan? Papa juga bersin-bersin sama batuk. Ayo ke rumah sakit, Pa!"

Sebenarnya, Jay merasakan kepalanya semakin pusing saat sang putra banyak bertanya seperti itu. Akan tetapi, melihat bagaimana khawatirnya wajah Jungwon, membuat Jay memilih menghela napas pendek, lantas menyunggingkan senyum tipis dari bibir pucatnya.

"Papa cuma demam sama flu dan batuk biasa, Nak." Jay menjawab dengan suara serak dan lirih. "Wonie main di depan aja, ya, jangan dekat-dekat Papa dulu, nanti tertular."

Akan tetapi, Jungwon hanya diam saja. Dia tidak mau menuruti perkataan sang ayah. Tidak tega rasanya melihat ayahnya yang terbaring lemas di tempat tidur seperti itu. Apalagi mengingat jika di rumah ini tidak ada pembantu yang bisa membantu mengurus rumah.

Bocah tujuh tahun itu mencoba mengingat-ingat. "Papa sudah minum obat, belum?" tanyanya.

Jay menatap sang putra dengan tatapan sayu, lantas menggeleng pelan. "Nanti saja," jawabnya. "Sekarang Wonie telepon Om Jake ya, minta jemput. Terus nanti Wonie main di rumah Om Jake, oke?"

"Nggak mau." Jungwon menjawab dengan gelengan. "Wonie mau di sini aja, sama Papa. Papa, kan, lagi sakit. Jadi, Wonie mau temanin Papa."

"Tapi nanti---"

"Wonie keluar sebentar ya, Papa. Papa tidur dulu, oke?" Setelah mengatakan hal itu, Jungwon segera meninggalkan sang ayah menghampiri meja belajarnya. Entah apa yang bocah itu lakukan, Jay tidak tahu. Dia terlalu lemas untuk sekadar mengubah posisi berbaringnya saat ini.

"Jangan main keluar jauh-jauh ya, Nak," pesan Jay saat sang putra meninggalkan kamar. Jungwon berteriak 'oke' dan melanjutkan langkahnya keluar.

Setelahnya, Jay memilih untuk memejamkan mata. Kepalanya terasa pusing sekali dan dia pikir, tidur sebentar tidak masalah. Namun, hal itu agaknya hanya angan-angan Jay saja, terlebih saat ponsel yang diletakkan di atas nakas berdering nyaring mengagetkannya.

Lelaki itu berdecak. Memilih mengabaikan panggilan yang entah dari siapa, tetapi makin dibiarkan, ponsel itu semakin berisik dan membuat kepalanya terasa ingin pecah saat itu juga. Alhasil, Jay terpaksa menjawab telepon itu. Terlebih lagi saat mengetahui siapa yang meneleponnya saat ini. Dalam benak, Jay berdoa semoga si penelepon tidak bertanya macam-macam.

+ㅈㅈ+


"Sudah berapa ratus kali Mama bilang kepadamu, Jay. Anak itu sudah besar! Sudah cukup kau merawatnya sampai sebesar ini! Ini saatnya kau mengembalikan anak itu kepada ibunya. Biarkan dia yang merawatnya!"

Pusing. Kepala Jay rasanya semakin bertambah pusing dan hampir meledak saat itu juga. Dia bahkan merasakan jika kepalanya itu seolah dipukul kuat-kuat sampai untuk membuka mata saja agaknya tak mampu.

Demam yang ia alami sudah cukup kuat menjadi penyebab kepalanya terasa pusing. Malah kini ditambah omelan tak berbobot yang dilontarkan oleh orang yang paling dihindarinya di dunia ini--Nyonya Park yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri.

"Lagi pula, dia sudah melemparkan semua kesalahannya hanya kepadamu. Kau juga masih sangat muda. Kau bisa menikah lagi dan mendapatkan anak." Nyonya Park kembali berceloteh tidak penting yang membuat Jay semakin muak. Kalau saja dia tidak ingat dosa, ingin sekali membalas ucapan-ucapan wanita tua itu dengan sebuah tindakan kasar.

"Lihatlah sekarang. Kau sakit. Pasti karena terlalu lelah mengurus anak itu." Wanita tua itu tidak ada letih-letihnya mengomel. Padahal, Jay sendiri tidak pernah mau mendengarkannya sama sekali, tetapi terus saja dia melontarkan pikiran-pikirannya yang tidak jelas itu. "Kalau kau tidak mau mengembalikan anak itu kepada ibunya, biar Mama saja yang lakukan! Mama bisa membuangnya ke panti asuhan atau--"

"Ma, tolong!" Lama-lama, Jay merasa muak. Ia membuka matanya sambil menatap sang ibu dengan tatapan nyalang. "Jungwon itu anakku! Anak kandung Jay! Sekali saja Mama berpikir untuk melakukan hal rendah itu kepada putraku, Jay nggak akan segan-segan untuk melakukan apa pun agar Mama enggak pernah lagi ikut campur dengan kehidupan Jay!"

"Oh, ya?" Nyonya Park terlihat tak gentar dengan apa yang putranya katakan. "Lalu apa yang akan kau lakukan, Jay? Apa kau meremehkan Mamamu ini, ha?"

Jay memijat dahinya frustrasi. "Ma, cukup. Hingga detik ini, Jay sudah cukup sabar menghadapi semua tingkah kekanakan Mama. Jay nggak minta banyak, Ma. Tapi tolong, belajar menerima Jungwon sebagai cucu Mama."

"Tidak dan tidak akan pernah!" Nyonya Park melipat kedua tangannya angkuh. "Lagi pula, dia hanya anak haram. Bisa saja bukan anakmu. Bisa saja wanita ular itu menipumu, bukan?"

Lelaki itu tertawa remeh. "Mama pikir, Jay sebodoh itu Ma?" tanyanya.

"Ya." Nyonya Park menjawab santai. "Kau memang bodoh karena lebih memilih anak sialan itu daripada pendidikan dan jabatan yang sudah keluarga kita persiapkan untukmu! Bukankah itu yang namanya 'bodoh'!?"

"Sebenarnya apa tujuan Mama kemari?" Jay bertanya dengan nada dingin. Dia sudah kepalang muak membalas semua kata-kata tak bermoral yang dikeluarkan oleh mulut berbisa wanita yang sayangnya adalah ibunya sendiri itu.

Nyonya Park menghela napas panjang, sambil memejamkan matanya. "Apakah salah jika seorang ibu ingin mengunjungi anaknya? Ah, lebih tepatnya, anak bungsunya yang terlalu bodoh hanya karena seorang anak?"

"Kalau Mama kemari hanya untuk mengungkit-ungkit hal yang tidak perlu, lebih baik pulang!" Lagi-lagi, Jay berujar dingin. Sakit di tubuhnya entah menghilang ke mana karena saat ini, emosinya yang lebih menguasai.

Nyonya Park melemparkan senyum iblis. "Tentu saja tidak," ujarnya. "Mama kemari ingin mengajakmu kembali ke rumah."

Dahi Jay otomatis berkerut tak suka mendengarnya. "Apa maksud Mama?"

"Mama sudah meminta seseorang untuk merawat anak itu dan kau harus ikut Mama pulang. Calon istrimu sudah menunggu."

Sial. Jay otomatis bangkit dari duduknya saat merasa jika putranya sedang dalam bahaya. Mengabaikan rasa sakit di tubuhnya, ia segera bersiap untuk mencari Jungwon. Mengabaikan Nyonya Park yang hanya terdiam di tempatnya dengan senyum iblis yang tak kunjung menghilang sejak tadi.

"Pelan-pelan, Nak. Tenang saja. Putramu itu akan baik-baik saja di tangan Mama," ujarnya santai. "Ah iya, Mama lupa untuk mencegah orang suruhan Mama melakukan sesuatu yang kejam kepada anak itu kalau-kalau dia banyak tingkah. Anakmu itu ... nakal, bukan? Ah, pasti sebentar lagi, dia hanya tinggal kenangan saja."

"Bangsat!" Demi Tuhan. Jay ingin sekali membunuh wanita di hadapannya kini kalau saja dia tidak ingat dosa. "Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk kepada putraku, maka aku sendiri yang akan melenyapkan nyawamu!"

+ㅈㅈ+
26 Agustus 2021

Jangan dicontoh ya, gengs, kelakuan buruk para tokoh di sini:')
Ambil sisi baiknya saja kalau memang ada, ya. Yang buruk-buruknya dibuang:')

Jumat, 27 Agustus 2021
0

40624

(NOT) Just Papa and Me! [JayWon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang