"Bunga mawar? Dari siapa nih?"
Tas ransel masih bertengger apik di bahunya namun dia dikejutkan dengan setangkai bunga mawar yang kini berada di atas mejanya, dia bingung karena tanpa nama pengirim atau pun surat untuk mengetahui siapa pemberinya.
"Gue emang cape sama kehidupan tapi kalo menghadap sang pencipta duluan ya gue mikir juga kali." Fashakira bermonolog.
"Lo sehat Sha?" Inggrid yang entah darimana datangnya tiba-tiba memegang kening Fashakira.
"Astaga, kaget gue!" pekik Fashakira.
"Ya lagian ngomong sendiri gue pikir ..." Fashakira memotong ucapannya.
"Ssst, lo dari tadi udah disini? Tau ga siapa yang naro ini?" tanyanya beruntun.
"Satu-satu Sha. Iya gue dari dua puluh menit yang lalu disini terus gue juga kaget Sha, kak ... !" Inggrid tidak melanjutkan ucapannya dia menutup mulutnya dengan satu tangan.
Fashakira memicingkan matanya, atensinya tertuju pada Arvino Danendra.
"Kak Arvino maksud lo?" tebaknya, dia melesakan bunga segar itu ke dalam tasnya. Bunga seindah ini sayang jika harus masuk ke tempat sampah.
Inggrid mengangguk sebagai jawaban, mau mengatakan tidak pun percuma Fashakira pasti akan tau juga nantinya daripada harus menahan lebih baik dia kasih tau saja sekalian, biar dua manusia ini saja yang menyelesaikan.
Sebelum Fashakira datang, Inggrid lebih dulu sampai di sekolah dengan earphone yang setiap hari dia kenakan saat ke sekolah. Berjalan santai padahal hatinya sangat lelah, dia lelah akan hal yang selalu menimpanya sedemikian rupa. Mama Papanya selalu saja berdebat padahal masalahnya hanya sepele, dia sudah biasa melihat piring yang tidak lagi berada di tempatnya, beling kaca berserakan.
Kadang dia berpikir, apa perlu dia berhenti untuk semua rasa lelahnya dan kebahagiaan apa yang Tuhan akan berikan padanya di masa depan?
Tangan yang dulu bersih kini banyak luka goresan yang tertata rapih, dia bisa menutupi itu dari orang lain tapi tidak dengan sahabatnya.
"Lo ngapain kak di mejanya Fashakira?" tanya Inggrid datar.
"Ssst jangan bilang ini dari gue ya!" titahnya pada Inggrid lalu dia segera pergi dari sana.
Inggrid meletakan tasnya dia duduk sebentar setelah itu pergi ke toilet.
Perasaannya begitu kalut, matanya terlihat sembab dia menyiramkan air ke wajahnya agar masalahnya hilang begitu saja tapi nyatanya tidak seperti itu. Tapi terlihat lebih segar sekarang, dia keluar dan tujuannya adalah ruang kelasnya siapa tau Fashakira sudah datang dan benar saja dugaannya itu.
"Lo lagi ga baik-baik aja?" tanya Fashakira melihat mata sembab sahabatnya dia berbalik lalu memeluk tubuh Inggrid.
"Lagi?!" Lengan kiri Inggrid menjadi objek sasaran untuk dilihatnya, goresan itu semakin banyak.
"Maaf, gue belom bisa nepatin janji Sha," ujar Inggrid sambil menangis.
Mungkin jika Fashakira yang di posisi Inggrid dia belum tentu sekuat sahabatnya itu. Dia memeluk tubuh lesu itu mengalirkan dukungan yang ada dalam dirinya untuk Inggrid.
"Kenapa Sha?" Angela bertanya di sampingnya ada Raina, sepertinya mereka baru datang terlihat dari tas bekal yang berada di tangan Raina.
Dia menunjukan lengan Inggrid.
"Oh My Gosh!! Poor Inggrid" ucap Angela terkejut, pasti sesuatu tengah menimpa sahabatnya ini.
"Ini gue ada susu cokelat kesukaan lo Grid, hari ini spesial gue kasih dua, bonus tissue buat ngilangin muka jelek lo." Raina memberikan itu sambil tertawa.
Sudah tidak sedatar tadi wajah Inggrid bisa berekspresi sekarang. Dia menerima itu sambil tersenyum tipis.
"Terima kasih yaa, kalo ga ada kalian mungkin gue udah lama pulang tanpa di jemput." tukasnya sambil menyedot susu pemberian Raina.
"Bego! Ngomong gitu lagi ganti rugi susu yang gue kasih." ujar Raina sambil menoyor kepala Inggrid.
"Eh jangaaan dong!" jawab Inggrid tersenyum sambil mengangkat kedua jarinya.
Setelah itu, jam pelajaran dimulai.
Berbeda dengan Fashakira yang tengah memperhatikan pelajaran. Arvino tengah bermain kartu uno dikelasnya.
"Next!" ujar Akmal.
"UNO!" teriak Arvino lantang.
Tiba-tiba wali kelas mereka datang langsung menuju ke pojokan dimana Arvino dan yang lainnya bermain dan mengambil kartu itu.
"Jam pelajaran sudah di mulai dari satu jam yang lalu kenapa kalian ga panggil gurunya? Ini malah main kartu kaya anak SD!" marah bu Susi.
"Emangnya yang bisa main kartu itu cuma anak SD doang bu? Kita juga bisa, liat Arvin dia menang sampe tiga kali." cerocos Akmal.
"AWW!" Dang! Penghapus papan tulis tepat sasaran mengenai kening Akmal. Bukannya takut pada bu Susi dia malah berani menjawab perkataannya.
"Bener-bener di uji banget saya jadi wali kelas kalian, apalagi ada kamu Akmal!" Bu Susi mengelus dadanya.
Arvino menahan tawanya melihat Akmal dimarahi bu Susi dia ingin membantu tapi sayang dengan nilai yang bisa saja diturunkan nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
EVANESCENT
Fiksi RemajaWaktu berjalan begitu cepat seakan ini adalah mimpi bagi Fashakira dan masa lalunya adalah hal yang harus dihindari. Dia dipertemukan kembali dengan manusia yang begitu memporak-porandakan isi hatinya. Keadaan lah yang membuat dirinya menjadikan se...