Pesta malam ini berakhir satu jam lebih lama daripada yang dijadwalkan. Semua orang bersenang-senang. Entah bagaimana pengatur acara ini membuat salah seorang solois mengisi acara satu jam lebih lama selagi orang-orang berpesta dengan makanan-makanan dan anggur-anggur lezat yang sengaja dikeluarkan papanya dari gudang anggur mereka. Apa pun itu, Kafka sangat menghargai usaha tim pengatur acara yang sigap dan cepat tanggap.
Keluarga mereka punya Jeric dan ia ingat laki-laki itu merencanakan beberapa penampilan dengan Ardan yang andal memainkan beberapa alat musik. Namun, Jeric tidak sedang dalam keadaan fit untuk berlama-lama di panggung setelah tampil di banyak festival musik belakangan ini. Kakak iparnya itu hanya menyanyikan dua lagu sebelum turun dari panggung. Tidak bersama Ardan, karena laki-laki itu bersama papanya nyaris sepanjang acara.
Setelah mengantar Karel dan Candra ke pelataran lobi—tamu terakhirnya, Kafka meninggalkan gedung utama resor, menyeberangi ruangan-ruangan yang masih ramai oleh tim yang bekerja di balik pesta untuk mulai mencari keluarganya. Lima belas menit kemudian, setelah nyaris frustrasi karena harus menyeberangi cukup banyak gedung, ia tiba di tempat keluarganya menginap.
Resor ini kosong, mereka bisa memilih salah satu gedung di sekitar area pesta—bagian samping resor yang dekat dengan lobi utama dan restoran, tetapi tidak pernah terjadi. Setiap menginap di sini, mamanya memilih gedung paling belakang, yang langsung menghadap pegunungan dan jalanan berkelok-kelok menuju pedesaan. Suasananya memang sangat tenang, berkebalikan dengan Jakarta yang riuh. Seharusnya perjalanan melelahkan itu sepadan, tetapi tidak malam ini. Kafka merasa kakinya akan kebas apabila tidak segera berhenti mondar-mandir, mengingat ia hanya sempat duduk sepuluh menit selama beberapa jam terakhir.
"Nah, ini bintang utamanya."
Suara papanya yang sarat meledek langsung menyambut Kafka ketika ia masuk ke ruang utama tempat keluarganya menginap. Mengetahui apa yang akan ia dapatkan, Kafka menghampiri papanya.
"Happy birthday, Adek." Pelukan hangat papanya mengirimkan kehangatan yang mendadak ia rindukan. "Kamu mungkin udah jadi 'Mas' buat Ata, tapi tetap 'Adek' yang tengil buat Papa."
Balas memeluk papanya, tawa Kafka luruh. Papanya begitu senang saat mengetahui ada perubahan besar antara Ata dan dirinya. Ya, panggilan itu. Panggilan yang menurut Ata merupakan bagian dari sopan santun dalam keluarganya.
Selama beberapa menit, Kafka menikmati limpahan kasih sayang keluarganya. Malam kian larut dan tidak satu pun dari mereka yang tampak prima seperti beberapa jam lalu, tetapi berkumpul dan mengobrol selalu menjadi salah satu cara untuk menyuntikkan energi baru.
Saat Kafka menerima setumpuk hadiah dari kakak-kakaknya, Ata muncul membawa satu kantong kertas. Di belakangnya, Ardan mengikuti sambil membawa kotak hadiah berukuran besar berwarna biru cerah dengan pita oranye yang menyala.
"Dari mana, Sayang? Apa itu? Kadoku, ya?"
Pertanyaan itu langsung mendapat sorakan gemas dari kakak-kakaknya. Kafka memberenguti mereka sebelum memandangi Ata yang tampak sudah membersihkan riasan, meski belum mengganti pakaiannya.
"Ambil kado di mobilnya Kak Ardan," jawab Ata sembari melewatinya, menuju mamanya yang berdiri di samping sofa tempat papanya duduk. Perempuan itu tersenyum kikuk saat menyodorkan kantong kertas pada mamanya. "Ini hadiah dari Mas Kafka sama Ata, Ma. Bukan apa-apa, tapi semoga—"
"Lho, Papa nggak dapat, Nak?"
Kafka bisa melihat tatapan iri dan suara merengek papanya yang ditujukan pada Ata. Menggeser pandangan pada Ata, ia melihat perempuan itu tersipu.
"Kadonya buat Papa juga, kok."
"Tapi Ata ngasihnya ke Mama." Mamanya tersenyum penuh kemenangan, kemudian memeluk Ata dengan senyum mengembang di wajah. "Makasih, Sayang. Mama boleh buka sekarang, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanficSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...