Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar.
Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
*
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kafka menoleh sekilas ke arah interkom yang menyala ketika bel apartemennya berbunyi. Ia memeriksa jam tangan. Pukul setengah tujuh pagi. Kafka merasa tak mengundang siapa pun ke apartemennya. Kecuali Ata, yang semalam menolak mentah-mentah, sehingga Kafka tidur sendirian di sisa akhir pekan. Perempuan itu mengatakan padanya bahwa ia butuh ketenangan untuk mengerjakan sesuatu. Kafka tak mendapat informasi lebih mengenai itu, tak peduli seberapa banyak ia bertanya.
Membiarkan tamu tak diundang itu menunggu, Kafka menyalakan mesin kopi, lalu menyiapkan gelas. Ketika Ata tak menginap, Kafka tak berminat untuk sarapan dan hanya membuat segelas kopi agar bisa fokus bekerja. Hari ini, ia bangun satu jam lebih awal dari biasanya. Meski masih mengantuk, Kafka tak bisa tidur lagi. Ranjangnya terlalu dingin. Ia terbiasa menyambut Senin sambil memeluk Ata sebelum membujuk perempuan itu beranjak dari ranjang untuk segera mandi dan bersiap pergi ke kantor.
Bel apartemennya berbunyi lagi. Kali ini, dua kali. Meninggalkan mesin kopinya yang menyala, Kafka menghampiri interkom, tetapi hanya melihat bahu mungil yang familier di layarnya. Tak memercayai penglihatannya, Kafka membuka pintu. Sesuai dugaan, tunangannya berdiri di depan pintu dengan wajah berseri-seri.
"Pagi, Ganteng!"
"Pagi." Menghapus sisa jarak, Kafka memeluk pinggang Ata dan mengecupi pelipisnya. "Kenapa nggak bilang kalau mau datang, Cantik? Dan kenapa harus nunggu aku bukain pintu, hm?"
"Biar jadi surprise." Suara Ata yang riang tenggelam pada kemejanya. Kafka mengeratkan pelukan, merasakan wangi lembut menyeruak pada indra penciumannya. "Kamu udah sarapan? Aku bawain nasi uduk pakai lauk telur puyuh bumbu kecap buat kamu."
"Aku nggak suka sarapan tanpa kamu."
Tawa kecil Ata berderai. "Aku udah di sini, ayo sarapan."
Sejujurnya, Kafka tak rela melepaskan Ata. Biasanya, Ata akan meraung ketika ia memeluknya di ambang pintu, tetapi perempuan itu tak melakukannya pagi ini. Kafka sudah hampir bosan menjelaskan bahwa ia tinggal di lantai tertinggi gedung ini. Hanya ada tiga unit di lantai tempatnya tinggal. Satu milik Kafka, satu milik Ardi—yang dihadiahkan untuk kekasihnya, satu lagi milik salah seorang direktur di tempat Ata bekerja. Tidak akan ada yang tahu, dan tidak akan ada yang peduli apa pun yang ia lakukan di lantai ini.