Eighth Coupon Redeemed (1)

1.8K 251 23
                                    

*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*

"Kaf, Kafka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kaf, Kafka."

Rasa-rasanya, Kafka baru saja memejamkan mata saat merasakan tangan dingin menepuk-nepuk pipinya. Terpaksa, Kafka membuka mata yang terasa panas dan berat. Pandangan Kafka tak fokus, tetapi ia masih bisa melihat Ata menatapnya cemas.

"Jam berapa sekarang?" Kafka refleks mengernyit saat merasakan tenggorokannya perih.

"Jam tujuh." Ata ganti menyentuh dahinya. "Badanmu panas. Kamu nggak bisa kerja hari ini."

Ata tidak seperti sedang mengajukan penawaran, melainkan titah yang membuat Kafka harus menurutinya. Biasanya, Ata tidak begitu. Dalam kondisi yang normal, Kafka akan tersenyum gembira. Ata jarang sekali melakukan hal-hal posesif padanya. Terkadang, ia nyaris sinting karena teramat mendambakan perlakuan itu. Sebagian orang mengatai Kafka gila karena ingin dicintai dengan posesif, mereka tidak tahu saja rasanya dibebaskan oleh orang tersayang justru membuat ia lebih gila lagi.

Namun, jangankan tersenyum gembira, membuka mata maupun berbicara saja terasa susah. Sekarang Kafka ingat. Satu jam lalu, ia terbangun dengan kepala pening dan tubuh lemas. Lebih lemas daripada saat terbangun kemarin pagi, sehingga ia menunda untuk pergi ke kamar mandi dan memutuskan tidur lebih lama, berharap dirinya hanya kelelahan serta kurang tidur. Saat memaksa diri untuk bangun, Kafka tahu ia bukan hanya kurang tidur.

Kepalanya berat. Pandangannya berkunang-kunang, padahal sekarang ia berbaring. Sendi-sendinya ngilu, salah satu tanda bahwa ia terserang demam. Kemungkinan besar Kafka memang demam karena meski tubuhnya panas, ia merasa kedinginan.

"Aku pusing." Kafka mengerjap, berusaha memfokuskan pandangannya yang goyah.

Ata membungkuk untuk mendaratkan kecupan di dahinya. Tangan dingin perempuan itu masih di pipinya. "Jelas kamu pusing, badanmu sepanas ini, Sayang. Makan sedikit, mau, ya? Biar bisa minum obat."

"Peluk aku sebentar."

"Aku—"

"Sebentar aja."

Suara Kafka makin parau. Ia tidak punya cukup tenaga untuk mengatakannya menerus, Namun, Ata kelihatan tidak mau langsung mengabulkan itu, membuat Kafka frustrasi.

Fiance #2 (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang