Kafka meringkuk pada sofa di ruang keluarga, sama sekali tidak memperhatikan tayangan di televisi yang ia setel beberapa menit lalu. Vivi bergelung di kakinya, memberi kehangatan menyerupai selimut. Namun, ia tidak merasa lebih baik.
Setelah ledakan emosi yang terjadi di mobil Ardan beberapa menit lalu, Ata tidak bersuara lagi, bahkan sampai mereka tiba di rumah orang tuanya. Ata langsung menuju lantai dua setelah pamit untuk mandi pada mamanya yang menyambut mereka, meninggalkan Kafka dengan perasaan kebas. Beberapa menit duduk sendirian, sementara para anggota keluarganya sibuk sendiri, Kafka mulai sadar telah melakukan sesuatu yang salah.
Mendengar langkah kaki mendekat, Kafka sontak menoleh untuk kesekian kali, gagal menahan desah sedih yang baru saja meluncur dari bibirnya. Bukan Ata yang datang, melainkan papanya dengan tangan kanan membawa sepiring puding roti tawar.
Papanya mengernyit. Secercah kekhawatiran tergambar di wajahnya yang tegas. Kafka selalu menggoda papanya dengan menyebut-nyebut tua, keriput, hingga tak tampan lagi. Semua itu sebetulnya hanya gurauan karena sampai saat ini, papanya masih seperti sepuluh tahun lalu. Tampan, sehat, dan jauh dari kata menua.
"Kenapa, Kaf? Ada yang sakit?"
Kafka menggeleng lemah. "Mau itu, Pa."
Alih-alih mengambil sendiri pada piring yang disodorkan papanya, Kafka justru membuka mulut. Ia menduga papanya akan memberengut malas. Ternyata tidak. Sepotong puding roti tawar disodorkan di depan mulutnya. Kafka menyengir, kemudian melahapnya. Begitu terus sampai setengah dari isi piring itu pindah ke perutnya dan ia mulai kenyang. Kafka heran papanya tidak meledek, malah menyuapinya dengan sabar.
"Masih demam?" tanya papanya, menyelisik Kafka.
"Nggak."
Kafka meneguk segelas air hangat yang telah disiapkan mamanya sebelum kembali sibuk di dapur. Kali ini, mamanya ikut memasak, bukan hanya memberi instruksi pada dua asisten rumah tangga yang punya kecepatan dan ketepatan mengagumkan. Kemungkin besar mereka sudah terlatih bekerja dengan mamanya yang hobi memberi instruksi yang cepat dan panjang. Hanya Irina yang ikut membantu untuk membunuh waktu selagi menunggu Satrio yang sedang dalam perjalanan dari bandara ke rumah ini. Jessy, yang sejak Ardan datang, langsung menarik tunangannya dan mereka berbicara di pinggir kolam.
"Terus kenapa muka kamu jelek kayak gitu?" Papanya menunjuk Kafka dengan garpu di tangannya, lantas bersandar santai pada sofa.
"Kapan aku pernah jelek?"
Kontan, papanya mendengus. Sikap itu membuat Kafka tersenyum. "Muka kamu kayak nggak dapat perhatian siapa-siapa, padahal kamu dimanja banget sama Ata. Iya, kan? Harusnya kamu nurut sama Ata, sama Mama. Disuruh ke rumah sakit, adaaa aja alasannya. Kalau Papa yang sakit, pasti Papa dipaksa-paksa dan nggak ada yang belain."
"Papa pingsan, aku nggak." Kafka mengulum senyum, tergoda untuk membuat papanya makin memberengut, sehingga mengatakan, "Kalau Papa khawatir sama aku, bilang aja. Nggak usah gengsi. Nggak bakal aku ledekin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiance #2 (on hold)
FanfictionSetelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Kafka, Ata masih merasa hidup di negeri dongeng yang tak punya jalan keluar. Setelah enam tahun berpacaran, hingga berganti status menjadi tunangan Ata, Kafka masih merasa bermim...